Minggu, 10 September 2017

MUSTAHIL JUJUR

Tidak Bisakah Manusia untuk Selalu Jujur?

@DO4-Rizky
Oleh : Rizky Aditya Pradana

Menurut KBBI, jujur adalah lurus hati; tidak berbohong (misalnya dengan berkata apa adanya); tidak curang (misalnya dalam permainan, dengan mengikuti aturan yang berlaku); tulus; ikhlas.

Jujur adalah salah satu faktor terbesar tegaknya kebenaran di dunia ini. Namun jika kita lihat dan perhatikan tentang kehidupan sosial sekarang bahwa kejujuran sudah jarang ditanamkan pada jiwa dan karakter seseorang, sudah jarang kejujuran diaplikasikan dan diterapkan pada kehidupan keseharian seseorang. Bahkan sekarang kebohongan, lawan dari kejujuran malah secara tidak langsung diajarkan kepada anak-anak. Seorang guru disekolah dengan terang-terangan mengajarkan anak didiknya untuk bebohong, membiarkan anak didiknya mencontek ketika ujian, bahkan yang sangat memprihatinkan adalah sekarang banyak sekolah-sekolah yang mengkoordinasi pembelian kunci jawaban atas para siswanya  sebagai jalan pintas dan  sebagai bahan mencontek untuk menjawab soal ujian negara. (Mulyanita, 2014)

Waktu kita masih kecil kita pernah mendengar orang tua kita bilang “jangan suka berbohong” dan mungkin sebagian dari kita ada yang berfikir bahwa kita masih boleh bebohong asal tidak terlalu sering. Lalu berapa kali kita boleh berbohong dalam sehari? 2-3 kali? Atau lebih baik kita tidak bohong sama sekali, tapi apakah kita bisa?

"Bohong itu sudah menjadi bagian tingkah-laku manusia yang normal. Tidak ada manusia yang di dalam hidupnya tidak pernah bohong" -Harald Freyberger, kepala Klinik untuk Psikiatri & Psikoterapi di Universitas Greifswald.

Menurut saya, orang yang mengaku tidak pernah berbohong adalah pembohong yang paling besar. Bohong tidaklah selalu salah. Bahkan terkadang bohong kecil bisa membantu hubungan kita ke orang lain menjadi lebih baik dan stabil. Contohnya, jika kita dihidangkan makanan dan setelah disantap, si pembuatnya menanyakan kita, bagaimana rasa makanan itu. Untuk tidak menyinggung perasaannya atau ingin menghargai jerih-payah pembuatnya, tentu kita akan bilang 'enak', walaupun rasanya tidak karuan. Kebohongan-kebohongan seperti itu seringkali tidak bisa kita hindari di dalam kehidupan bermasyarakat, karena kita masih menjunjung nilai kesopanan yang berlaku. Tapi apakah dalam menjunjung nilai kesopanan yang berlaku kita harus berbohong? Menurut saya tidak. Sungguh sayang jika kita menjaga satu norma yang baik namun harus dicampur dengan sikap yang tidak baik. Lalu bagaimana cara mengatasi jika kasus diatas kita alami sementara kita harus menjunjung nilai kesopanan? Katakan dengan kalimat yang baik dan tidak menyinggung seperti “ini akan lebih enak jika garamnya dikurangi” atau “sayur ini enak tapi pasti akan lebih enak jika ditambahkan kaldu ayam”.

Seberapa sering dan tidak malunya kita berbohong lebih besar dipengaruhi oleh faktor keluarga dan lingkungan. Anak-anak yang hidup di keluarga yang sering berbohong, akan mempunyai rasa percaya diri yang rendah jika sudah saatnya mereka harus terjun ke masyarakat. Mereka malu untuk menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya, tanpa harus berbohong. Bisa jadi mereka akhirnya terperangkap ke dalam penyakit Pseudologia Phantasica, yang selalu mengarang cerita yang bagus-bagus untuk menaikkan citra dirinya alias pencitraan.

Ketika saya menulis artikel ini saya sedang menjadi seorang mahasiswa baru. Karena saya suka dan terbiasa mengamati tingkah laku orang-orang di sekitar saya terutama orang yang baru saya kenal, saya akan memberikan satu contoh kebohongan yang biasa dilakukan seorang mahasiswa baru, yaitu tidak memiliki pendirian dan mengikuti kegiatan teman-temannya yang sebenarnya tidak disukainya. Saya memiliki seorang teman yang sangat pendiam dan dia lebih suka melakukan segalanya sendiri namun ketika dia masuk ke sebuah lingkungan baru di perguruan tinggi yang dia masuki, dia bukan menjadi dirinya sendiri karena disana dia dipaksa untuk ikut-ikutan ‘nongkrong’ setiap hari setelah usai jam kuliah yang menurut dia tidak memiliki banyak manfaat. Padahal dia sangat tidak menyukai sesuatu yang seperti itu. Dan salahnya adalah dia tidak menjaga pendiriannya karena dia takut dengan ancaman yang di berikan teman-temannya ataupun kakak kelasnya. Saya ingin mengingatkan bahwa kita sebagai manusia diciptakan bukan untuk saling takut menakuti namun untuk saling menghormati dan menghargai satu sama lain.

Menurut Roy (2016), orang-orang muda yang ‘ambisius’ adalah orang yang sering juga melakukan kebohongan, dibandingkan orang yang sudah 'matang', karena mereka masih harus melewati banyak rintangan untuk mencapai tujuannya. Persaingan dan rasa iri membuat mereka sering melakukan kebohongan, dengan tujuan tercapainya keinginan mereka, yaitu posisi yang lebih tinggi. Bahkan ada yang karirnya berjalan mulus terus, walaupun jalan yang ditempuh tidaklah bersih. Tapi perlu diingat bahwa ada saatnya kebohongan itu terungkap.

“Janganlah kita menjadi orang-orang yang populer melalui cara-cara yang tidak pantas, tapi pantaskanlah dulu diri kita untuk populer, maka kepopuleran akan menghampiri kita dengan sendirinya”

Sama halnya dengan orang yang punya kekuasaan. Hal ini tampak jelas sekali terlihat di kehidupan para konglomerat dan pejabat negara. Walaupun penghasilan mereka sudah lebih dari cukup, tapi sepertinya kepuasaan belum mereka dapatkan. Mereka menempatkan keserakahan dan egoismenya lebih tinggi nilainya, dibandingkan dengan kejujuran dan norma yang berlaku. Akibatnya banyak dari mereka yang melakukan perbuatan yang merugikan orang banyak dan menutupinya dengan kebohongan-kebohongan yang begitu rapih, karena mereka selalu takut untuk 'hidup kekurangan'. Ketamakan untuk memperkaya diri sendiri dijadikan 'nilai positif', makanya berbohonglah mereka tanpa mengenal malu & rasa bersalah. Identitas moralnya berada di standar yang rendah.

Di zaman sekarang ini, seolah-olah sifat jujur adalah barang langka yang tidak terpakai, apabila kita berbicara dan bersikap jujur justru akan dibenci banyak orang, apakah hal ini bisa menjadi alasan untuk meninggalkan kejujuran?

Jika kita lebih takut pada kebencian manusia daripada kebencian Tuhan, tentu saja kita akan memilih melepas kejujuran, namun seorang yang beriman pada Tuhan pastilah mengetahui bahwa jujur adalah harga mati yang mutlak ada sebagai karakter dirinya. (Lupika, 2015)

Orang-orang yang berhasil dalam hidupnya namun melalui kebohongan dapat dipastikan tidak akan tenang dalam menikmati keberhasilannya dan dapat dipastikan juga bahwa tidak akan lama menikmati keberhasilannya itu bahkan sampai akhirat pun tidak akan tenang. Untuk kita yang selalu mencoba untuk jujur dalam melakukan apapun tetaplah jujur dan ciptakan karakter diri sendiri, karena karakter diri yang baiklah yang akan membawa kita dalam keberhasilan yang abadi.

DAFTAR PUSTAKA

Bues, Yuni. 2014. Bisakah Kita Hidup Tanpa Bohong?. http://www.kompasiana.com/salju/bisakah-kita-hidup-tanpa-bohong_54f455e57455137f2b6c8a54. Diunduh 3 Oktober 2014.

Roy, Leka. 2016. Idealnya Kejujuran dan Kebohongan. http://www.kompasiana.com/nikmatjujur/idealnya-kejujuran-dan-kebohongan_5707769c5793731a13ad46db. Diunduh 8 April 2016.

Lupika, Ayu. 2015. Mengapa Kita Perlu Bersifat Jujur. http://tabungwakaf.com/mengapa-kita-perlu-bersifat-jujur/. Diunduh 28 Oktober 2015.

Mulyanita, Nita. 2014. Intelektual Muslimahhttp://mulyanitanita.blogspot.co.id/2014/10/makalah-pendidikan-agama-islam-tentang.html. Diunduh 22 Oktober 2014.

DAFTAR LINK



1 komentar: