Tidak Bisakah Manusia untuk Selalu Jujur?
@DO4-Rizky
Oleh : Rizky Aditya Pradana
Menurut KBBI, jujur adalah lurus
hati; tidak berbohong (misalnya dengan berkata apa adanya); tidak curang
(misalnya dalam permainan, dengan mengikuti aturan yang berlaku); tulus;
ikhlas.
Jujur adalah salah satu faktor
terbesar tegaknya kebenaran di dunia ini. Namun jika kita lihat dan perhatikan
tentang kehidupan sosial sekarang bahwa kejujuran sudah jarang ditanamkan pada
jiwa dan karakter seseorang, sudah jarang kejujuran diaplikasikan dan
diterapkan pada kehidupan keseharian seseorang. Bahkan sekarang kebohongan,
lawan dari kejujuran malah secara tidak langsung diajarkan kepada anak-anak.
Seorang guru disekolah dengan terang-terangan mengajarkan anak didiknya untuk
bebohong, membiarkan anak didiknya mencontek ketika ujian, bahkan yang sangat
memprihatinkan adalah sekarang banyak sekolah-sekolah yang mengkoordinasi
pembelian kunci jawaban atas para siswanya
sebagai jalan pintas dan sebagai
bahan mencontek untuk menjawab soal ujian negara. (Mulyanita, 2014)
Waktu kita masih kecil kita pernah
mendengar orang tua kita bilang “jangan suka berbohong” dan mungkin sebagian
dari kita ada yang berfikir bahwa kita masih boleh bebohong asal tidak terlalu
sering. Lalu berapa kali kita boleh berbohong dalam sehari? 2-3 kali? Atau
lebih baik kita tidak bohong sama sekali, tapi apakah kita bisa?
"Bohong itu sudah menjadi bagian tingkah-laku manusia yang normal.
Tidak ada manusia yang di dalam hidupnya tidak pernah bohong" -Harald
Freyberger, kepala Klinik untuk Psikiatri & Psikoterapi di Universitas
Greifswald.
Menurut saya, orang yang mengaku
tidak pernah berbohong adalah pembohong yang paling besar. Bohong tidaklah
selalu salah. Bahkan terkadang bohong kecil bisa membantu hubungan kita ke orang
lain menjadi lebih baik dan stabil. Contohnya, jika kita dihidangkan makanan
dan setelah disantap, si pembuatnya menanyakan kita, bagaimana rasa makanan
itu. Untuk tidak menyinggung perasaannya atau ingin menghargai jerih-payah
pembuatnya, tentu kita akan bilang 'enak', walaupun rasanya tidak karuan. Kebohongan-kebohongan
seperti itu seringkali tidak bisa kita hindari di dalam kehidupan
bermasyarakat, karena kita masih menjunjung nilai kesopanan yang berlaku. Tapi
apakah dalam menjunjung nilai kesopanan yang berlaku kita harus berbohong?
Menurut saya tidak. Sungguh sayang jika kita menjaga satu norma yang baik namun
harus dicampur dengan sikap yang tidak baik. Lalu bagaimana cara mengatasi jika
kasus diatas kita alami sementara kita harus menjunjung nilai kesopanan?
Katakan dengan kalimat yang baik dan tidak menyinggung seperti “ini akan lebih
enak jika garamnya dikurangi” atau “sayur ini enak tapi pasti akan lebih enak
jika ditambahkan kaldu ayam”.
Seberapa sering dan tidak malunya
kita berbohong lebih besar dipengaruhi oleh faktor keluarga dan lingkungan.
Anak-anak yang hidup di keluarga yang sering berbohong, akan mempunyai rasa
percaya diri yang rendah jika sudah saatnya mereka harus terjun ke masyarakat.
Mereka malu untuk menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya, tanpa harus
berbohong. Bisa jadi mereka akhirnya terperangkap ke dalam penyakit Pseudologia
Phantasica, yang selalu mengarang cerita yang bagus-bagus untuk menaikkan citra
dirinya alias pencitraan.
Ketika saya menulis artikel ini
saya sedang menjadi seorang mahasiswa baru. Karena saya suka dan terbiasa
mengamati tingkah laku orang-orang di sekitar saya terutama orang yang baru
saya kenal, saya akan memberikan satu contoh kebohongan yang biasa dilakukan
seorang mahasiswa baru, yaitu tidak memiliki pendirian dan mengikuti kegiatan
teman-temannya yang sebenarnya tidak disukainya. Saya memiliki seorang teman
yang sangat pendiam dan dia lebih suka melakukan segalanya sendiri namun ketika
dia masuk ke sebuah lingkungan baru di perguruan tinggi yang dia masuki, dia
bukan menjadi dirinya sendiri karena disana dia dipaksa untuk ikut-ikutan ‘nongkrong’
setiap hari setelah usai jam kuliah yang menurut dia tidak memiliki banyak manfaat.
Padahal dia sangat tidak menyukai sesuatu yang seperti itu. Dan salahnya adalah
dia tidak menjaga pendiriannya karena dia takut dengan ancaman yang di berikan
teman-temannya ataupun kakak kelasnya. Saya ingin mengingatkan bahwa kita
sebagai manusia diciptakan bukan untuk saling takut menakuti namun untuk saling
menghormati dan menghargai satu sama lain.
Menurut Roy (2016), orang-orang
muda yang ‘ambisius’ adalah orang yang sering juga melakukan kebohongan,
dibandingkan orang yang sudah 'matang', karena mereka masih harus melewati
banyak rintangan untuk mencapai tujuannya. Persaingan dan rasa iri membuat
mereka sering melakukan kebohongan, dengan tujuan tercapainya keinginan mereka,
yaitu posisi yang lebih tinggi. Bahkan ada yang karirnya berjalan mulus terus,
walaupun jalan yang ditempuh tidaklah bersih. Tapi perlu diingat bahwa ada
saatnya kebohongan itu terungkap.
“Janganlah kita menjadi orang-orang yang populer melalui cara-cara yang
tidak pantas, tapi pantaskanlah dulu diri kita untuk populer, maka kepopuleran
akan menghampiri kita dengan sendirinya”
Sama halnya dengan orang yang punya
kekuasaan. Hal ini tampak jelas sekali terlihat di kehidupan para konglomerat dan
pejabat negara. Walaupun penghasilan mereka sudah lebih dari cukup, tapi sepertinya
kepuasaan belum mereka dapatkan. Mereka menempatkan keserakahan dan egoismenya
lebih tinggi nilainya, dibandingkan dengan kejujuran dan norma yang berlaku.
Akibatnya banyak dari mereka yang melakukan perbuatan yang merugikan orang
banyak dan menutupinya dengan kebohongan-kebohongan yang begitu rapih, karena
mereka selalu takut untuk 'hidup kekurangan'. Ketamakan untuk memperkaya diri
sendiri dijadikan 'nilai positif', makanya berbohonglah mereka tanpa mengenal
malu & rasa bersalah. Identitas moralnya berada di standar yang rendah.
Di zaman sekarang ini, seolah-olah
sifat jujur adalah barang langka yang tidak terpakai, apabila kita berbicara
dan bersikap jujur justru akan dibenci banyak orang, apakah hal ini bisa
menjadi alasan untuk meninggalkan kejujuran?
Jika kita lebih takut pada
kebencian manusia daripada kebencian Tuhan, tentu saja kita akan memilih
melepas kejujuran, namun seorang yang beriman pada Tuhan pastilah mengetahui
bahwa jujur adalah harga mati yang mutlak ada sebagai karakter dirinya.
(Lupika, 2015)
Orang-orang yang berhasil dalam
hidupnya namun melalui kebohongan dapat dipastikan tidak akan tenang dalam
menikmati keberhasilannya dan dapat dipastikan juga bahwa tidak akan lama
menikmati keberhasilannya itu bahkan sampai akhirat pun tidak akan tenang.
Untuk kita yang selalu mencoba untuk jujur dalam melakukan apapun tetaplah
jujur dan ciptakan karakter diri sendiri, karena karakter diri yang baiklah
yang akan membawa kita dalam keberhasilan yang abadi.
DAFTAR PUSTAKA
Bues, Yuni. 2014. Bisakah Kita Hidup Tanpa Bohong?. http://www.kompasiana.com/salju/bisakah-kita-hidup-tanpa-bohong_54f455e57455137f2b6c8a54.
Diunduh 3 Oktober 2014.
Roy, Leka. 2016. Idealnya Kejujuran dan Kebohongan. http://www.kompasiana.com/nikmatjujur/idealnya-kejujuran-dan-kebohongan_5707769c5793731a13ad46db.
Diunduh 8 April 2016.
Lupika, Ayu. 2015. Mengapa Kita Perlu Bersifat Jujur. http://tabungwakaf.com/mengapa-kita-perlu-bersifat-jujur/.
Diunduh 28 Oktober 2015.
Mulyanita,
Nita. 2014. Intelektual Muslimah. http://mulyanitanita.blogspot.co.id/2014/10/makalah-pendidikan-agama-islam-tentang.html.
Diunduh 22 Oktober 2014.
DAFTAR LINK
Aselole bosq
BalasHapus