Kamis, 22 Desember 2016

MENGENAL DIRI


Dalam hidup ini, manusia selalu mencari dan mendambakan sesuatu yang berarti dalam hidupnya. Memiliki sesuatu yang berarti, untuk membuat hidupnya terpandang dan terhormat, bangga dan menaikan gengsinya sebagai makhluk sosial, sehingga memuaskan hasratnya untuk merasakan bahagia.
Namun sayang sekali, kita sebagai manusia ternyata selalu ingin menjadikan hidupnya berarti dengan berusaha untuk mencari hal-hal yang bukan inti. Ada banyak diantara kita misalnya, yang sibuk mencari uang hingga menelantarkan keluarga. Atau sibuk mengumpulkan kekayaan dan merumitkan tetek bengek kehidupan, tanpa bisa menikmati bahwa kebahagiaan itu sebenarnya telah ada dan berasal dari hal-hal sederhana.
Kita cenderung fokus kepada materi dan hal-hal yang bersifat fana, sehingga melupakan untuk mencari sesuatu yang paling berarti yang sejati dalam hidupnya. Ada yang demi mendapatkan materi, kekayaan, dan jabatan yang sifatnya fana itu, ia rela untuk melakukan segala cara. Bahkan dengan mengorbankan dan pengorbanan nyawa.  Demi memperoleh hal itu, ia bahkan rela menggadaikan nuraninya.
Memang materi dan hal-hal yang sifatnya fana sering kali berarti bagi hidup manusia. Tetapi semua itu hanya benar menurut ukuran duniawi, sebagai sesuatu yang berarti dalam kepalsuan – bukan yang sejati.
Dari dahulu kala, manusia yang bijaksana telah berusaha dan membuka jalan untuk menemukan sesuatu yang paling berarti dalam hidupnya. Melalui berbagai cara, dari yang biasa dan ekstrim. Untuk itu semua, mereka rela untuk mengorbankan waktu dan materi. Karena materi bukanlah yang sejati dan berarti bagi mereka yang telah mengerti.
Lebih dari itu sesungguhnya yang paling berarti dalam hidup manusia adalah bisa mengenal diri yang sesungguhnya, menemukan HATI NURANI-nya dan kemudian mencapai KESADARAN. Kesadaran untuk terlepas dari kemelekatan. Kesadaran untuk melampaui kebaikan dan kesalahan. Ketika mencapai kesadaran itulah dikatakan manusia telah bisa melampaui kelahiran dan kematiannya.
Agama Islam adalah sebagai jalan dan sarana bagi manusia untuk mengenal dirinya sebagai penuntun untuk mencapai kesadaran menuju kepada pencapaian tertinggi dalam hidup manusia. Sesuatu yang paling berarti karena sejati dan abadi.
Zaman ini kita telah dikejutkan dengan nanotechnology. Kita telah memasuki era dimana kebutuhan semakin berorientasi kepada yang kecil-kecil. Mulai dari telepon, komputer, sampai peralatan rumah tangga. Semakin dibuat kecil, ramping dan efisien. Di era ini kita diajak untuk mengulik sampai ke inti terkecil dari sesuatu yang besar. Bahwa 1 nanometer adalah 1/1,000,000,000 meter. Suatu dimensi yang bahkan lebih kecil dari sehelai rambut kita dibelah tujuh. Dan sesuatu yang kecil itu adalah inti dari sesuatu yang besar. Bahwa Segala yang besar dibangun dari partikel dan komponen-komponen kecil. Dengan mengubah dan mengendalikan sesuatu yang inti, yang kecil, partikel yang menyusunnya itu, maka kita bisa membuat sesuatu yang besar, yang luar biasa!
Maka ilmuan era ini, mulai berpikir bagaimana membuat mesin berskala nano tersebut. Karena itulah jawaban dari kemajuan teknologi kedokteran, dirgantara, energi terbarukan, teknologi pangan dll. Ya, jawaban dari peradaban masa depan adalah perjalanan kita ke “dalam” atau ke inti dari  semua mahluk hidup, yaitu atom-atom, sel dan molekul, nukleus!
Di era atau momentum manusia kini, bukan lagi berbicara tentang cara membuat pesawat berbadan lebar dengan kapasitas 400 penumpang atau lebih, tapi berangan membuat sebuah mesin yang dapat ditanamkan di pembuluh darah seseorang untuk membantu mengefektifkan pengobatan.
“The Art of Building Small” itulah judul kuliah umum dari professor Faringa di depan civitas akademika Universitas Groningen sebagai penghargaan kepadanya atas hadiah Nobel yang baru diterimanya.
Intinya adalah, kita telah masuk ke zaman berpikir nano, yakni berpikir ke dalam (inward), bukan keluar (outward). Berpikir nano adalah berpikir yang dikendalikan oleh faktor terdalam dari diri kita yang kemudinya adalah self awareness dan conscience. Kesadaran diri! Itulah yang menggerakkan kita, bukan faktor luar!
Segala yang besar dibangun dari partikel dan komponen-komponen kecil. Tapi, kadang kita lupa, kita ingin langsung mendapat hasil langsung besar. Kita bahkan terbiasa menghargai  pencapaian yang terlihat besar tanpa perduli kalau hasil besar adalah buah dari bibit-bibit kecil.
Kalau kita berenang di kolam kecil, maka kita merasa besar. Padahal, jika kita berenang di tengah lautan Pasifik, barulah kita merasakan betapa kita hanyalah buih kecil, sangat tak berarti. Pun, jika kita hanya berkutat di satu lingkungan, satu organisasi, satu paham, dan merasa kita sudah berada di puncak dunia, maka hal selanjutnya yang terjadi adalah tergerusnya kita oleh zaman. Kita tidak akan kemana-mana, kita akan terborgol dengan ‘kebesaran’ itu sendiri. Itu-itu saja, dan cuma di situ-situ saja!
Maka, ketika segala persoalan diselesaikan dengan pendekatan makrosopik dan bukan mikroskopik, kita akan cenderung melihat hanya yang terlihat besar saja, namun tidak akan dapat mendeteksi inti permasalahannya. Tak pelak, jika kita menyelesaikan dengan cara makro, masif, akbar, teriakan, cercaan, hujatan dan bukan dengan pendekatan nano seperti nilai-nilai, moral, etika, hati nurani, maka sudah dapat kita tebak seperti apa hasilnya. Kita hanya berhenti pada hal-hal yang sifatnya kasat mata. Kita lupa, kalau kita tidak akan jadi besar dengan membesarkan ego.
“Dan di dalam diri kamu sendiri, apakah kamu tidak memperhatikannya?” (QS Adz Dzaariyaat [51]: 21)
Allah memerintahkan manusia untuk memperhatikan ke dalam dirinya, karena di dalam diri manusia itu telah diciptakan sebuah mahligai dan di dalamnya Allah telah menanamkan rahasia-Nya.
Maka, wajib bagi kita untuk mengadakan perjalanan ke inti kehidupan untuk mendapat jawaban dari semua permasalahan. Karena, dari perjalanan kecil, perjalanan mikroskopik, perjalanan nano itulah kita akan menemukan “penemuan besar” bernama kesucian, kekuatan, kearifan, rahman, rahim atau nukleus (inti) dari penciptaan kita.
Dalam seni perang Sun Tzu, jika kita mengenal diri sendiri dan mengenal siapa musuh kita, maka kita tidak perlu mengkhawatirkan hasil dari ratusan pertempuran. Begitu pula dalam hidup ini, jika kita tahu siapa diri kita dan mengerti situasi/lawan/kompetitor, maka kemenangan pasti ada ditangan.
Semua orang sukses pasti mengerti siapa diri mereka, Bill Gates pernah berkata:
The only thing I understand deeply, because in my teens I was thinking about it, and every year of my life, is software. So I’ll never be hands-on on anything except software.
Bill Gates menyadari, apa yang ada di dalam dirinya adalah kecintaan terhadap software, dan dia unggul dibidang tersebut. Maka semua yang ia lakukan hanyalah membangun software terbaik. Inilah yang membuatnya bisa memegang gelar menjadi orang terkaya di dunia, salah satu diantara filantropis yang senang menyumbangkan hartanya bagi banyak orang.
Mengenal diri sendiri adalah permulaan dari semua kemenangan hidup. Mengenal diri sendiri memang sangat penting, namun terkadang juga sulit dilakukan, dan satu-satunya orang yang bisa mengenali diri sendiri tentu hanya diri kita sendiri.
Cara terbaik untuk menemukan jati diri adalah dengan bertanya, bertanya adalah trik yang paling ampuh karena pertanyaan sebodoh apapun yang ditanyakan, maka otak akan selalu mencari jawabannya perlahan-lahan, karena itu mengapa kita perlu bertanya kepada diri sendiri, dan mengenal diri lebih dalam.
Pada suatu malam di bulan Ramadhan tahun 610 Masehi, yang kelak disebut nabi Muhammad SAW sebagai malam Lailah al-Qadr (lailatu qadar), Jibril (Ruh Al-Qudus) diutus Allah, Tuhan Semesta Alam, Rabbul ‘Aalamin, menyampaikan kalimat-Nya kepada Al-amin yang berada di Gua Hira’.
Muhammad SAW telah mempersiapkan dirinya selama empat puluh tahun untuk memikul tugas yang maha berat ini, ia telah menjadi manusia pembelajar secara alamiah sebelum kenabian dan kerasulan ditetapkan padanya.
Pilihan mengasingkan diri yang dilakukan oleh Beliau SAW ini merupakan skenario Allah SWT terhadapnya. Juga agar terputusnya kontak dengan kesibukan-kesibukan duniawi. Rasulullah saw beribadah di dalam gua Hira’ untuk beberapa malam. Di sana Rasulullah saw beribadat dengan bermunajat dan berzikir mengikut ajaran Nabi Ibrahim as. Rasulullah hanya pulang ke rumahnya setelah bekalanya habis. Bekalan kebiasaan Rasulullah untuk beribadah hanyalah gandum dan air.
Di Gua Hira’ yang gelap dan sepi, Beliau merenung, berpikir, melakukan evaluasi, serta berdialog dengan diri sendiri. Hingga kemudian Allah SWT berkenan berbicara kepada-Nya lewat perantaraan malaikat Jibril ‘alaihissalam.
Begitulah, kemuliaan bukanlah terjadi begitu saja. Nabi Muhammad SAW dijadikan rasul bukan tanpa proses terlebih dahulu. Beliau bahkan menjadi seorang pemikir dan mengasingkan diri di gua Hira’ sebelum wahyu datang kepadanya.
Dari kisah ini dapat kita simpulkan. Bahwa seorang muslim tidak akan sempurna keislamannya –betapapun ia memiliki akhlak-akhlak yang mulia dan melaksanakan segala macam ibadah– sebelum menyempurnakannya dengan waktu-waktu menyendiri untuk “mengadili diri sendiri” (muhasabatun nafsi). Merasakan pengawasan Allah dan merenungkan fenomena-fenomena alam semesta yang menjadi bukti keagungan Allah.
Berpikirlah kedalam, mengenali diri sendiri adalah kunci untuk menjadi berarti. Seperti sebuah quote terkenal tentang seorang yang ingin mengubah dunia berikut:
“Ketika aku sadari bahwa aku tidak bisa mengubah negaraku, aku mulai berusaha mengubah kotaku. Ketika aku semakin tua, aku sadari tidak mudah mengubah kotaku. Maka aku mulai mengubah keluargaku.
Kini aku semakin renta, aku pun tak bisa mengubah keluargaku. Ternyata aku sadari bahwa satu-satunya yang bisa aku ubah adalah diriku sendiri.
Tiba-tiba aku tersadarkan bahwa bila saja aku bisa mengubah diriku sejak dahulu, aku pasti bisa mengubah keluargaku dan kotaku. Pada akhirnya aku akan mengubah negaraku dan aku pun bisa mengubah seluruh dunia ini.”
Wallahu’alam Bishawab.

Daftar Pustaka:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar