Oleh : MOCH AIKHAL AYATULLAH HUSAINY
Abstrak
Permasalahan korupsi di kalangan birokrat Indonesia bukanlah permasalahan baru. Sejak dahulu kala, kondisi ini masih hidup dan cenderung menjadi budaya. Artikel ini bertujuan untuk memberikan opini mengenai penyelesaian permasalahan korupsi di kalangan birokrat Indonesia.
Pendapat dan pemecahan masalah dalam artikel ini difokuskan pada perspektif relativisme budaya. Mereka akan selalu memulai dari individu yang transaksional dan menjadikan semua orang dalam organisasi menjadi seseorang yang istimewa.Abstract
The problem of corruptions in Indonesia bureaucrats
are not the new problems. From long time ago, this conditions still a live and
tend to be a culture. This article conducted to make the opinion about problem
solving from the corruptions in Indonesia bureaucrats. The opinion and problem
solving in this article are focused from the cultural relativism perspectives.
They would always begun from the individual transactional and make everybody in
organization is somebody special.
Keywords: Corruptions,
Indonesia Bureaucrats, Cultural Relativism Perspectives
Latar
belakang
Saat ini bangsa
Indonesia sementara berusaha bangun dari keterpurukan akibat krisis moneter
yang berkepanjangan yang berimplikasi pada sendi-sendi kehidupan bangsa ini.
Sungguh ironis dan memprihatinkan bahwa korupsi masih menjadi suatu budaya di
negeri ini. Dari waktu ke waktu, dari rejim pemerintahan satu ke rejim
pemerintahan lainnya, dengan sebutan apapun; Orde Lama, Orde Baru, Orde
Transisi, Orde Reformasi, dan orde tanpa nama, korupsi justru makin tinggi
”kualitas dan kuantitasnya”. Lalu kapan bangsa ini bebas korupsi atau
setidak-tidaknya dapat keluar dari sebutan negara terkorup. Suatu ungkapan
pertanyaan yang sederhana namun jawabannya tidak dapat sederhana, bahkan tidak
dapat dipecahkan dalam hitungan hari, bulan dan tahun. Namun hal tersebut bukan
berarti korupsi tidak dapat diberantas.
Masyarakat Indonesia
mulai tersentak untuk menyadari, korupsi adalah tidak normal, korupsi bukan
praktik normal, korupsi bukan tindakan atau peristiwa yang wajar atau biasa,
korupsi adalah tindakan atau peristiwa jahat, buruk, memalukan, dan niscaya
dicegah serta dibuang jauh-jauh dari perbendaharaan tindakan dan peristiwa di
tengah kehidupan sehari-hari.
Secara hakiki, korupsi
adalah suatu bentuk kekerasan struktural dan kekerasan budaya. Sebagai
kekerasan struktural, korupsi didukung dan dihidupi oleh strukturstruktur
hubungan antarmanusia yang bersifat tidak adil, menindas yang lemah,
menguntungkan elite, yang telah berlangsung lama dan mendalam.
Struktur-struktur hubungan antarmanusia seperti itu dalam hubungan birokrat dan
nonbirokrat yang ditandai penindasan birokrat yang memiliki kekuasaan terhadap
nonbirokrat yang tidak memiliki kekuasaan, demi memberi keuntungan yang lebih
kepada birokrat yang memiliki kekuasaan. Struktur hubungan itu nampak pada
tataran terendah di pedesaan sampai tertinggi di pemerintahan pusat.
Sebagai kekerasan budaya, korupsi didukung
anggapan kuat dan mendalam serta keyakinan yang digdaya bahwa melakukan korupsi
itu normal, wajar, tidak apa-apa, boleh-boleh saja. Ranah-ranah budaya yang
mendukung anggapan dan keyakinan seperti itu dapat dikenali dalam letupan aneka
gejala kecil di tengah percakapan sehari-hari antarwarga masyarakat, seperti
yang ternyatakan dalam ungkapan, ”Wajar, dia melakukan korupsi karena dulu,
untuk mencapai jabatannya sekarang, pengorbanan materinya besar”, ”Melakukan
korupsi boleh-boleh saja, asal bagi-bagi dengan yang lain, tidak dimakan
sendiri”, ”Bisa dimaklumi pegawai negeri melakukan korupsi karena gaji mereka
kecil, tak cukup buat hidup seminggu”, dan lain-lain.
Dengan memahami korupsi sebagai sebuah bentuk
kekerasan struktural, yang didukung dan dihidupi oleh struktur mendalam dan
dengan memahami korupsi sebagai sebentuk kekerasan budaya yang didukung dan
dihidupi oleh budaya mendalam, kita bisa menyadari betapa pemberantasan korupsi
yang benar-benar bermakna niscaya mencakup perombakan struktur mendalam dan
budaya mendalam yang mendukung serta menghidupinya.
Namun, tingkat kedalaman
pendekatan untuk melawan kekerasan di tengah kehidupan manusia, kita akan
menyadari betapa aneka tindakan gemilang memeriksa intensif serta menangkap
tegas para tersangka koruptor, seperti yang telah dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi ataupun Kejaksaan Agung akhir-akhir ini, masih tergolong
pendekatan untuk melawan korupsi bertingkat dangkal, belum tergolong bertingkat
menengah, apalagi mendalam.
Inilah hakikat pendekatan pemberantasan
korupsi yang bertingkat mendalam. Pada situasi ini, bisa disadari betapa
”tingkatan sekadarnya” dari tindakan memeriksa intensif para tersangka koruptor
dan tindakan tegas menangkapi mereka, sama sekali tidak mencukupi untuk
mengejawantahkan pemberantasan korupsi yang benar-benar mendalam. Oleh karena
itu dalam proses penyelesaiannya harus menyentuh sampai pada akar permasalahan
yaitu pada level transaksional bukan pada bagaimana cara mengatasinya.
Faktor-Faktor
Timbulnya Korupsi
Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri
sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks.
Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa
juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk
melakukan korupsi. Dari sisi organisasional dapat dilihat bahwa faktor-faktor
yang menyebabkan timbulnya korupsi dalam organisasi birokrat atau pemerintahan
adalah:
1. Kurang
adanya sikap keteladanan pimpinan
2. Posisi
pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting
bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan Aunalal Zany
Irayati yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka
kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan
atasannya.
3. Tidak
adanya kultur organisasi yang benar
4. Kultur
organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur
organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak
kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif,
seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
5. Sistim
akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai
6. Pada
institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang
diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus
dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap
instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil
mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian
pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan
situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
7. Kelemahan
sistim pengendalian manajemen
8. Pengendalian
manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam
sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah
organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai
di dalamnya.
9. Manajemen
cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi
10. Pada
umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh
segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran
korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.
Permasalahan
Dari apa yang sudah dipaparkan Persoalannya
yang dapat diangkat adalah sampai sekarang akar permasalahan korupsi ini belum
dapat diungkap secara tuntas, yang penyelesaian yang terjadi masih dalam
takaran permukaan saja. Hal ini terlihat bahwa dengan telah ditanganinya kasus
korupsi dengan penjatuhan hukuman pidana dan denda berat, masih belum mampu
membuat jera bagi para pelaku atau calon pelaku korupsi yang ada, buktinya satu
kasus korupsi sudah dapat diselesaikan, muncul korupsi di tempat lain, demikian
juga seterusnya.
Artikel ini akan
memaparkan strategi penyelesaian korupsi yang selama ini terjadi dalam dunia
birokrat di Indonesia dengan menggunakan sudut pandang perilaku keorganisasian.
Pembahasan
Mengatasi korupsi yang
terjadi di dunia birokrat dapat dilakukan dengan banyak cara dan dengan
pendekatan yang berbeda-beda. Sepeti yang sudah dijelaskan diatas bahwa
pendekatan yang dilakukan dalam pembahasan artikel ini adalah melalui
pendekatan perilaku organisasi. Adapun pendekatan yang dapat dijelaskan adalah:
Strategy and Structure
Menyusun sebuah
strategi dan struktur dalam mengatasi masalah korupsi merupakan langkah awal
yang harus dibuat. Strategi dan struktur ini harusnya dibangun mulai dari level
”transaksional” antar individu dalam organisasi birokrat yang dimaksud.
Perencanaan yang dibuat dengan memperhatikan semua aspek individu dan hubungan
antar individu maupun kelompok dalam organisasi.
Bahwa keberadaan fungsi
perencanaan yang memfokuskan pada pemasukan kompetensi situasi yang spesifik
dan integrasi yang tepat dari kompetensi ini kedalam pelaksanaan aktifitas
management strategic. Organisasi akan lebih sukses dalam mengadaptasi
kesempatan transaksional dan hambatan jika mereka melatih pelaku strategi dan
posisi pada kekuasaan dan jika para pelaku strategik membicarakan melalui
penyusunan multilateral (Boschken, 1990).
Ketika telah menyiapkan landasan pada level yang paling mendasar level
transaksional yaitu dengan menerapkan untuk keluar dari budaya korupsi
dilakukan dengan baik maka akan berkembang menjadi iklim, habit, beliefs, value dan akhirnya menjadi culture organisasi.
Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan
suatu proses dari pengaruh sosial, yaitu pemimpin berupaya untuk memperoleh
partisipasi sukarela dari para karyawan dalam usaha untuk mencapai tujuan
organisasi. Kepemimpinan dalam konteks permasalahan korupsi di lingkungan
birokrat memiliki kewenangan untuk mengatasi serta mencegah terjadinya korupsi.
Permasalahnnya yang terjadi selama ini adalah pemimpin bukannya mencegah
terjadinya korupsi tetapi pemimpin jualah yang turut ”bermain” dalam konsiprasi
tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan pemimpin yang memilki komitmen yang kuat
terhadap organisasi sehingga dapat melaksanakan tugas sebagaimana mestinya dann
bukan menggunakan kewenangan dan kekuasaan untuk melakukan kecurangan.
Kepemimpinan membutuhkan lebih dari sekedar wewenang dan kekuasaan. Collins (2001) menjelaskan bahwa ada
lima (5) level kepemimpinan yaitu:
1. Level
1 highly capable individual, yang berkaitan dengan kontribusi yang produktif
melalui bakat, pengetahuan, keahlian dan kebiasaan kerja yang baik.
2. Level
2 berkaitan dengan contributing team member yaitu memberikan kontribusi untuk
pencapaian tujuan kelompok, bekerja secara efektif dengan orang lain dalam
setting kelompok.
3. Level
3 berkaitan dengan kompetensi manajer yaitu menyusun orang dan sumber daya
kearah pencarian yang efektif dan efisien dari tujuan yang ditetapkan
sebelumnya. .
4. Level
4 berkaitan dengan effective leader
yaitu katalisator komitmen untuk pencarian yang giat dari visi yang jelas dan
memaksa, menstimulasi kelompok untuk standar kinerja yang tinggi.
5. Level
5 berkaitan dengan executif melalui membangun sesuatu kehebatan yang
berlangsung lama melalui kombinasi yang paradox dari kerendahan hati dan tekad
profesional.
Bila sebuah organisasi
birokrat memiliki pemimpin yang seperti kriteria diatas maka dengan kemampuan
dan kapabilitas yang mereka miliki akan mampu menggiring organisasi birokrat ke
arah yang jauh lebih baik dan maslah-masalah yang terjadi dalam organisasi seperti
korupsi akan mudah dicegah dan diatasi. Hal ini bisa terjadi karena pemimpin
memiliki relationship yang baik dalam jangka waktu yang sangat panjang dengan
seluruh perangkat organisasinya sehingga apapun yang terjadi dalam organisasi
dapat dipecahkan termasuk korupsi dan gejala-gejala terjadinya korupsi
tersebut.
Untuk harus tetap
menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada maka seorang pemimpin selain
merubah mindset juga harus mempelajari keahlian kritis jika mereka mengharapkan
untuk menghasilkan skala yang besar, pertumbuhan jangka panjang (Slywotzky, 2002). Dengan terus
memperbaharui pola pikir dan keahlian pimpinan organisasi birokrat akan semakin
jeli untuk melihat fenomena terjadi korupsi yang terjadi ataupun yang akan
terjadi sehingga pola pengantisipasian oleh pimpinan akan menjadi lebih akurat
dari waktu ke waktu.
Lingkungan
Kerja Organisasi
Dengan melihat
proposisi dari manfaat work-life
(kehidupan kerja) yang dapat mendorong karyawan untuk ikut berpartisipasi
(Lambert, 2000). Hal ini akan membuat kehidupan kerja karyawan menjadi harmonis
pada semua aspek termasuk aspek finansial yang menjadi salah satu pemicu
terjadinya praktek korupsi. Pengembangan dari social exchange theory
dan didalam menyusun kembali Organizational
Citizenship Behavior (OCB) sebagai sebuah contoh dari civic citizenship yang
menyediakan sebuah landasan untuk merumuskan hipotesis yang lebih spesifik yang
berhubungan dengan pengalaman kerja dengan manfaat work-life pada organisasi, khususnya pada perilaku pada tingkat
citizenship dan partisipasi pada tempat kerja (Lambert, 2000). Bahwa
dengan menyusun kembali Organizational
Citizenship Behavior (OCB) beserta dimensi-dimensinya seperti altruism, courtesy, sportmanship dan civic virtue
(Kidder, 2001) dan kemudian diterjemahkan dengan baik kepada anggota
organisasi, maka mereka akan merasa merupakan bagian dari organisasi yang dalam
hal ini adalah milik rakyat sehingga akan sulit melakukan tindakan korupsi.
Eisenberger
et al., (Lambert, 2000) menyatakan bahwa karyawan cenderung
untuk peduli terhadap organisasi yang memperhatikan kontribusi mereka dan juga
keberdaan mereka. Level yang tinggi dalam Perceived
Organizational Support akan bisa Penanganan Korupsi Di Dunia Birokrat
menciptakan kewajiban diantara individu untuk mengembangkan organisasi.
Sebenarnya bukanlah pengalaman pekerja dengan work-life benefit ataupun partisipasinya ditempat kerja yang
mendukung organizational support. Yang mendukung adalah hubungan antara pekerja
dan supervisor (Lambert, 2000). Dari
penjelasan tersebut dapat dismpulkan bahwa untuk penanganan korupsi dari awal
haruslah mendapat dukungan bukan hanya secara personal baik itu pemimpin
ataupun bawahan tetapi juga dari dukungan organisasional.
aringan Kerja Informal
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa para manajer selain berkepentingan terhadap
hirarkhi organisasi tradisional, juga membutuhkan jaringan kerja informal
melalui kontak person dalam rangka menyelesaikan pekerjaan (Cross, 2002). Disini dapat dijelaskan bahwa untuk menyelesaikan
permasalahan korupsi maka pimpinan bukan satu-satunya yang mampu mengatasinya
dengan bekerja sendirian akan tetapi juga bisa dilakukan dengan membangun
jaringan kerja (network) informal dalam organisasi.
Tindakan yang dilakukan
oleh para eksekutif dalam rangka menjaga social capital sebagai alat yang
menggantungkan pada intuisi. Menurut Cross
& Pursak (Cross, 2002) diperlukan adanya cara agar para eksekutif dapat
mengelola kontak person ini dalam bentuk jaringan kerja informal dengan
mengunakan empat peran penting yang berhubungan satu dengan lainnya dalam satu
kelompok agar dapat diperoleh sebuah jaringan kerja informal yang sistematis :
1. Penghubung
sentral, yaitu jalur yang menghubungkan kebanyakan orang dalam sebuah jaringan
kerja informal satu dengan lainnya. Dengan begitu dapat mengetahui siapa yang
dapat menyajikan informasi penting atau ahli yang menggambarkan keseluruhan
jaringan kerja untuk mendapatkan pekerjaan yang dilakukan. Dengan adanya
penghubung sentral maka pengontrolan melalui jaringan kerja informal akan
sangat mudah dilakukan sehingga kesempatan untuk melakukan tindakan korupsi
akan semakin sulit.
2. Boundary
spanners yang menghubungkan sebuah jaringan kerja informal dengan bagian lain
dari perusahaan atau dengan jaringan kerja yang sama dalam organisasi lain.
Mereka memanfaatkan waktu untuk konsultasi dengan dan menasehati setiap
individu dari berbagai departemen yang berbeda. Boundary spanner mempertahankan
hubungan terutama dengan orang diluar jaringan kerja informal. Bila sebuah
jaringan kerja informal boundary spanners dilakukan maka kerja sama dengan
organisasi lain akan terbentuk dan dalam kasus penanganan korupsi bisa lebih
diterapkan dengan baik karena bisa mengkombinasikan strategi organisasi dengan
strategi organisasi lain. Dengan demikian sistem penanganannya korupsi akan
terus mengalami perbaikan.
3. Information
broker yaitu memegang subgrup yang berbeda dalam sebuah jaringan kerja informal
secara bersama. Jika mereka tidak mengkomunikasikan semua , maka jaringan kerja secara keseluruhan akan
terpecah menjadi lebih kecil, segmen menjadi tidak efektif. Sama seperti
penghubung sentral, information broker memainkan setiap peran penting yang
organisasi coba untuk mengelola jaringan kerja informal yang besar melalui
orang-orang ini.
4. Peripheral
specialists yang setiap orang dalam jaringan kerja informal dapat beralih pada
keahlian khusus. Meskipun hanya terbatas pada peran-peran tertentu, tetapi
orang-orang ini memainkan peran penting dalam jaringan kerja melalui penyediaan
keahlian.
Bila peripheral specialists mampu memainkan
perannya dengan baik maka penanganan kasus korupsi dapat dijalankan dengan baik
pula karena organisasi memiliki orang yang punya keahlian khusus dalam
mengelola penanganan korupsi baik itu dalam organisasinya ataupun melalui
jaringan kerja informal. Untuk mengatasi ini, maka langkah awal dalam
pengelolaan jaringan kerja informal harus menjadikannya terbuka. Kegiatan itu
dapat dilakukan melalui teknik yang sering dinamakan Social Network Analysis (SNA), yakni sebuah pendekatan alat grapis
yang menggambarkan hubungan dalam sebuah organisasi (Cross, 2002). Social Network Analysis memberikan artian yang
beraneka ragam serta sistematik dalam melakukan penilaian jaringan informasi
melalui pemetaan dan menganalisis hubungan antara karyawan, kelompok dan
deperatemen atau pada seluruh organisasi. Dalam memetakan arus informasi maka
social network analysis untuk menilai karakateristik hubungan yaitu knowledge, access, engagement dan safety diantara
sebuah kelompok (Cross, 2001).
Analisis terhadap
jaringan sosial dapat membantu penanganan masalah korupsi. Analisis tersebut
dilakukan terhadap hubungan antara karyawan, kelompok dan departemen ataupun
organisasi secara keseluruhan sehingga segala sesuatu yang terjadi termasuk
rencana ataupun tindakan yang memanfaatkan celah untuk melakukan korupsi mudah
dikontrol yang didukung oleh empat aspek analisis jaringan kerja sosial. Untuk
memperbaiki cara manajer meningkatkan hubungan dengan orang-orang adalah (1)
tingkat yang mana manajer mencari keluar orang-orang didalam atau diluar bidang
fungsionalnya. (2) derajat dimana hirarkhi, kedudukan, dan lokasi yang terjadi
dengan hubungan sosial manajer. (3) lama waktu manajer mengetahui hubungan. (4)
tingkat yang mana para jaringan kerja manajer personalia menghasilkan interaksi
yang membentuk kedalam sebuah skedul (Cross, 2002).
Benchmarking
Secara umum semua
organisasi mencoba untuk mereplikasi praktek terbaik dan mengelola pengetahuan
organisasi tetapi meskipun demikian, secara mayoritas berusaha untuk meniru
keunggulan dari kegagalan (Szulanski, 2002). Bahwa dalam penanganan korupsi,
organisasi birokrat bisa melakukan perbandingan dan meniru apa yang sudah
dilakukan oleh organisasi lain. Bagaimana mereka melakukan penanganan korupsi,
cara-cara mencegah dan mengatasinya, bagaimana peranan kepemimpinan dalam
masalah tersebut, sanksi-sanksi apa yang diberikan dan lainnya. Permasalahannya
adalah bahwa dalam melakukan replikasi atau melakukan benchmarking harus
melihat situasi dan kondisi organisasi secara cermat karena penanganan di
setiap organisasi tidak akan pernah sama. Szulanski & Winter (Szulanski,
2002) juga menjelaskan bahwa ada dua hal yang harus dilakukan untuk sukses
dalam melakukan replikasi:
1. Jangan
hanya mengandalkan pendapat ahli dan dokumentasi untuk pemahaman yang
menyeluruh terhadap aktivitas yang kompleks. Dengan kata lain kita harus
memperhatikan aktifitas yang akan dilaksanakan itu sendiri.
2. Ketika
kita melihat secara langsung pada aktivitas yang akan dilaksanakan, jangan
berasumsi kita memahami sepenuhnya ini akan berhasil lebih baik dari yang
diungkapkan para ahli. Keyakinan yang terlalu tinggi harus di sesuaikan lagi.
Akhirnya pimpinanlah
yang harus menentukan apakah mereka ingin menambah pengetahuan yang telah ada
atau menciptakan pengetahuan yang baru. Jika menambah, maka replikasi dengan
modifikasi yang terbatas adalah jalan yang terbaik. Jika melakukan inovasi mereka
melakukan modifikasi dan adaptasi. Menambah pengetahuan berarti menggunakan apa
yang telah dipelajari orang lain, dengan usaha dan terkadang kepedihan, melalui
pengalaman dan kegagalan. Dengan demikian meraka bersandar pada sesuatu yang
kuat, namun perlu diingat meniru bukan hal yang sepele tapi merupakan tantangan
untuk dapat berhasil.
Konsep Sosial Dalam aplikasinya konsep social
capital ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai dasar anatara lain:
obligasi dan ekspetasi dimana hal tersebut tergantung pada kepercayaan pada
lingkungan sosial, kemampuan arus informasi dari struktur sosial dan
norma-norma yang disertai dengan sangsi-sangsi (Coleman, 1988). Aplikasi konsep ini dalam penanganan korupsi bahwa
sebagai landasan penangan korupsi dalama dunia birokrat menggunakan nilai-nilai
sosial yang tinggi dengan adanya normanorma sosial yang disertai dengan
sangsi-sangsi bila melakukan pelanggaran yang akan berimplikasi langsung pada
individu-individu yang berniat untuk melakukan korupsi. Pengaruh kepercayaan
lingkungan sosial akan membuat individu akan merasa sulit pada level
”transasksional” untuk melakukan tindakan korupsi. Hal ini terjadi karena
tekanan lingkungan sosial yang diperhitungkan serta sangsi atas norma-norma
sosial akibat pelanggaran seperti korupsi. Hubungan dan struktur sosial juga
menjadi bagian dari konsep ini. Dalam tahapan konsep sosial ini juga dapat
dilihat dari jenis-jenis keahlian sosial yang dijelaskan oleh Ferris et al., (Ferris, 2000) yang menjelaskan enam
tipe keahlian atau kemampuan sosial yaitu :
1. Kecerdasan
sosial (social intelligence) yang menunjukan akan kemampuan untuk mengerti,
memahami dan mengatur orang. Kecerdasan ini dianggap sebagai sesuatu yang
melebihi IQ, sehingga merupakan faktor dominan dalam political skill. Hal ini
sangat dibutuhkan oleh seorang pimpinan organisasi birokrat karena dengan
kemampuan memahami serta mengatur dinamika kerja yang termasuk didalamnya
tindakan korupsi oleh anggotanya sehingga peran dimainkan melalui keahlian
politiknya akan semakin dominan. Kondisi ini sangat baik untuk keberlangsungan
hidup organisasi. Bila semua anggota memiliki kecerdasan sosial yang tinggi
maka mereka akan berpikir jernih untuk mengatasi permasalahan yang ada dalam
organisasi dan terus menjaga agar organisasi dapat survive tanpa gangguan
seperti masalah korupsi.
2. Kecerdasan
emosional, (Emotional intelligence) menunjukan kemampuan untuk memonitor diri
sendiri dan perasaan orang lain dan emosi, dan untuk menggunakan informasi ini
dalam pelaksanaan dan kebijakan emosi seseorang. Bukan hanya kecerdasan sosial
lewat IQ seorang pemimpin dan anggotanya, tetapi juga dibutuhkan kecerdasan
emosional guna menyeimbangkan kecerdasan yang dimiliki. Dengan demikian
organisasi akan semakin kuat karena individuindividu yang ada didalamnya mampu
untuk memonitor keadaan dalam organisasi dan dapat memahami apa yang terjadi
dalam organisasi. Dengan demikian kalaupun ada masalah korupsi maka akan sangat
mudah untuk diatasi dan bahkan bisa dicegah sebelumnya.
3. Ego
Resiliency merupakan bentuk social skill dalam adaptasi lingkungan melalui
kapasitas yang dimiliki dalam menghadapi lingkungan yang dinamis. Seorang
pemimpin dalam mengatasi permasalahan yang ada dalam organisasi harus memiliki
”sifat keakuan” dalam artian yang positif karena disini lingkungan yang selalu
berubah-ubah dengan dinamikanya. Sesekali pemimpin dalam dunia birokrat ini
dapat menggunakan ”kuasa” untuk mengambil keputusan menyangkut hal yang terjadi
dalam organisasinya.
4. Social
Self Efficacy berkaitan dengan keputusan seseorang dalam interaksi sosial
mereka terhadap keadaan yang terjadi. Seorang pemimpin harus mampu untuk
membuat keputusan ketika seorang dari staffnya melakukan tindakan korupsi atau
yang mengarah kesana. Interaksi sosial dengan pelakunya dapat membuat pelaku akan
menjadi lebih baik pada masa yang akan datang. Tentunya interaksi tersebut
disertai dengan norma-norma sosialnya.
5. Self
monitoring menunjukkan kemampuan seseorang dalam mengontrol emosi mereka serta
menciptakan pengaruh yang diinginkan, sehingga mengarah pada perilaku sosial
yang tepat. Seorang pimpinan harus mampu menciptakan pengaruh dalam organisasi
untuk mampu memonitor dan sehingga perilaku sosial dapat terbentuk dalam
organisasi dan semua anggota organisasi dapat melaksanakan tanggung jawab dan fungsi
sosialnya sesuai dengan tujuan organisasi.
6. Tacit
knowledge dan practical intelligence. Tacit knowledge berkaitan dengan tindakan
yang orientasi pada pengetahuan yang relevan untuk pencapaian tujuan,
hubungannya dengan kecerdasan practical ada pada konsep ”kecerdasan (savvy)”.
Dengan memiliki
kecerdasan practical maka secara cepat permasalahan ataupun gejala terjadi
korupsi dapat diatasi.
Korten (Djatimiko,
2005) menjelaskan bahwa dunia bisnis, selama setengah abad terakhir, telah
menjelma menjadi institusi paling berkuasa atas planet ini. Institusi yang
dominan, di masyarakat manapun, harus mengambil tanggung jawab untuk
kepentingan bersama. Setiap keputusan yang dibuat, setiap tindakan yang
diambil, harus dilihat dalam kerangka tanggung jawab tersebut. Hal ini
menunjukan bahwa penangan kasus korupsi sesungguhnya menjadi tanggung jawab
bersama setiap individu dalam organisasi birokrat dan semua organisasi. Ini
dikarenakan organisasi birokrat adalah milik semua orang sehingga organisasi
juga memikul tanggung jawab karena merupakan kepentingan bersama.
Inovasi dalam
Penanganan Lebih ekspresif untuk mengeluarkan ide-ide, yang mendorong setiap
individu berinovasi menciptakan produk yang viable (masuk akal) dan dapat
dipasarkan secepat mungkin (Bushnell, 2002).
Hal ini menunjukan bahwa dalam penanganan masalah korupsi didunia birokrat
tidak murni harus menjadi tanggung jawab seorang pimpinan saja tetapi semua
anggota mempunyai hak untuk mengeluarkan ide-ide dalam mengatasi permaslahan
korupsi tersebut. Dengan memberikan kesempatan yang lebar kepada anggota untuk
berekspresi lebih jauh dengan ide-idenya maka seorang pimpinan akan menjadi
lebih mudah untuk menangani masalah korupsi karena disinilah bisa terjadi ”brainstorming”.
Organisasi harus
memahami bahwa mereka akan bekerja dengan baik ketika mereka yakin dengan apa
yang dilakukannya dan bagaimana perusahaan memperlakukan mereka, dan ketika
mereka melihat bahwa apa yang dilakukannya lebih dari sekedar memperkaya
pemegang saham (Vasella, 2002). Bila
organisasi memperhatikan karyawan sebagaimana adanya maka karyawan juga akan
memandang organisasi sebagai bagian dari mereka. Mereka akan merasa memiliki
organisasi sehingga untuk melakukan sesuatu yang merugikan organisasi seperti
melakukan tindakan korupsi akan sangat sulit terjadi karena mereka betul-betul
merasa telah berkecukupan dengan apa yang telah diberikan organisasi kepada
mereka baik meskipun itu hanya dalam bentuk penghargaan. Mereka akan menjadi
sangat loyal karena merasa sangat dihargai oleh organisasi.
Coutu
(2002) menjelaskan bahwa lebih dari pendidikan, lebih dari
pengalaman, lebih dari pelatihan, seseorang yang ulet dan tabah akan menentukan
siapa yang digantikan dan yang membuat kesalahan. Keuletan bukanlah masalah
etika yang baik ataupun buruk. Hal tersebut hanya merupakan keahlian dan
kapasitas untuk tetap tegar dalam kondisi stres maupun perubahan. Hal ini
menunjukan bahwa dalam penangan korupsi pimpinan dan staffnya bukan hanya
mengandalkan kemampuan, pengaruh dan kecerdasannya saja tapi juga keuletan
dalam menangani masalah. Ini disebabkan karena masalah korupsi yang ada didunia
birokrat di Indonesia ini bukanlah masalah yang baru lagi tetapi suatu hal yang
sudah membudaya yang harus dipangkas dari level ”transkasional” dari hubungan
antar individu dan itu membutuhkan waktu yang lam dan butuh keuletan dan
ketabahan untuk menanganinya.
Kesimpulan
Penanganan korupsi di
dunia birokrat di Indonesia harus bersifat hati-hati, tidak parsial, mampu
mengungkap akar permasalahan korupsi,diikuti dengan komitmen yang tinggi untuk
memberantas korupsi, mempunyai visi dan misi yang sama serta adanya dukungan dari
seluruh rakyat. Jangan sampai yang terjadi malahan masyarakat memberikan
kesempatan untuk melakukan korupsi, kalau hal ini yang terus terjadi gerakan
korupsi yang telah dicanangkan pemerintah hanya tinggal nama saja tidak
membuahkan hasil apa-apa, artinya korupsi masih tumbuh subur di negara
Indonesia tercinta ini.
Tanpa transparansi dan
akuntabilitas birokrasi, hubungan kesetaraan yang adil antara birokrat dan
nonbirokrat tidak bisa diwujudnyatakan. Dengan demikian, struktur mendalam yang
mendukung serta menghidupi korupsi tidak pernah bisa dirombak Oleh karena itu
langkah awal yang harus dilakukan adalah memutuskan mata rantai korupsi pada
level ”transaksional” sehingga budaya korupsi lambat laun akan menghilang.
Pimpinan juga harus
memainkan peran dalam mengatasi masalah ini dengan kebijakan yang diambilnya.
Dengan menjadikan semua orang dalam organisasi ”somebody special” maka semua
anggotta organisasi akan merasa menjadi bagian dari organisasi dan akan menjadi
”doers dan analyzer” serta memiliki komitmen dan level OCB yang tinggi dan kuat
pada organisasi sehingga tindakan yang dilakukan selalu menjadi bagian positif
organisasi.
Selain Analisis
jaringan sosial dengan melibatkan individu ataupun kelompok diluar organisasi
untuk turut membantu organisasi menyelesainkan permasalahan. Selain itu
penanganan korupsi dunia birokrat bukan ”pure” merupakan tanggung jawab
pimpinan tetapi juga staffnya beserta semua pihak yang berhubungan dengan
organisasi.
Daftar Pustaka
Boschken, H.L. 1990. Strategy and Structure:
Reconceiving the Relationship. Journal of Management, Vol.16. No.1: pp.
135-150.
Bushnell, N.
2002. Let Go of Your Ideas. (Inspring InovationI), Harvard Business Review,
August.
Coleman, J.S. 1988. Social Capital in the Creation
of Human Capital. American Journal of Sociology, Vol.94. Supplement: pp.
S95-S120.
Collins, J. 2001. Level 5 Leadership: The Triumph of
Humility and Fierce Resolve. Harvard Business Review, January
Coutu, D.L. 2002. How Resilience Works. Harvard
Business Review, May.
Cross, R., Parker, A., Prusak, L. dan Borgatti, S.P.
2001. Knowing What We Know: Supporting Knowledge Creation and Sharing in Social
Networks. Organizational Dynamics, Vol.30, No.2: pp. 100-120.
Cross, R. dan Prusak, L. 2002. The People Who Make
Organizations Go-Or Stop. Harvard Business Review, June.
Djatmiko, H.E. 2005. Saatnya Menabur, SWA, 26/XXI/.
Jakarta
Ferris, G.R., Perrewe, P.L., Anthony, W.P. dan
Gilmore, D.C. 2000. Political Skill at Work. Organizational Dynamics, Vol.28,
No.4: pp 25-37.
Kidder, D.L. dan Parks, J.M. 2001. The Good Soldier:
who is s(he)?. Journal of Organizational Behavior, Vol.22: pp. 939-959.
Lambert, S.J. 2000. Added Benefits: The Link Between
Work-Life Benefits And Organizational Citizenship Behavior. Academy of
Management Journal, Oktober.
Slywotzky, A.J., dan Wise, R. 2002. The Growth
Crisis-and How to Escape It. Harvard Business Review, July.
Szulanski, G dan Winter, S. 2002. Getting it Right
the Second time. Harvard Business Review, January.
Vassela, D. 2002. Make it meaningfull (Inspring
Inovation). Harvard Business Review, August.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar