Laman

Senin, 09 Desember 2024

Korupsi dalam Birokrasi: Apa Saja Faktor Pemicunya?

 

Oleh : MOCH AIKHAL AYATULLAH HUSAINY

Abstrak

Permasalahan korupsi di kalangan birokrat Indonesia bukanlah permasalahan baru. Sejak dahulu kala, kondisi ini masih hidup dan cenderung menjadi budaya. Artikel ini bertujuan untuk memberikan opini mengenai penyelesaian permasalahan korupsi di kalangan birokrat Indonesia.

Pendapat dan pemecahan masalah dalam artikel ini difokuskan pada perspektif relativisme budaya. Mereka akan selalu memulai dari individu yang transaksional dan menjadikan semua orang dalam organisasi menjadi seseorang yang istimewa.

Abstract

The problem of corruptions in Indonesia bureaucrats are not the new problems. From long time ago, this conditions still a live and tend to be a culture. This article conducted to make the opinion about problem solving from the corruptions in Indonesia bureaucrats. The opinion and problem solving in this article are focused from the cultural relativism perspectives. They would always begun from the individual transactional and make everybody in organization is somebody special.

 Keywords: Corruptions, Indonesia Bureaucrats, Cultural Relativism Perspectives

Latar belakang

Saat ini bangsa Indonesia sementara berusaha bangun dari keterpurukan akibat krisis moneter yang berkepanjangan yang berimplikasi pada sendi-sendi kehidupan bangsa ini. Sungguh ironis dan memprihatinkan bahwa korupsi masih menjadi suatu budaya di negeri ini. Dari waktu ke waktu, dari rejim pemerintahan satu ke rejim pemerintahan lainnya, dengan sebutan apapun; Orde Lama, Orde Baru, Orde Transisi, Orde Reformasi, dan orde tanpa nama, korupsi justru makin tinggi ”kualitas dan kuantitasnya”. Lalu kapan bangsa ini bebas korupsi atau setidak-tidaknya dapat keluar dari sebutan negara terkorup. Suatu ungkapan pertanyaan yang sederhana namun jawabannya tidak dapat sederhana, bahkan tidak dapat dipecahkan dalam hitungan hari, bulan dan tahun. Namun hal tersebut bukan berarti korupsi tidak dapat diberantas.

Masyarakat Indonesia mulai tersentak untuk menyadari, korupsi adalah tidak normal, korupsi bukan praktik normal, korupsi bukan tindakan atau peristiwa yang wajar atau biasa, korupsi adalah tindakan atau peristiwa jahat, buruk, memalukan, dan niscaya dicegah serta dibuang jauh-jauh dari perbendaharaan tindakan dan peristiwa di tengah kehidupan sehari-hari.

Secara hakiki, korupsi adalah suatu bentuk kekerasan struktural dan kekerasan budaya. Sebagai kekerasan struktural, korupsi didukung dan dihidupi oleh strukturstruktur hubungan antarmanusia yang bersifat tidak adil, menindas yang lemah, menguntungkan elite, yang telah berlangsung lama dan mendalam. Struktur-struktur hubungan antarmanusia seperti itu dalam hubungan birokrat dan nonbirokrat yang ditandai penindasan birokrat yang memiliki kekuasaan terhadap nonbirokrat yang tidak memiliki kekuasaan, demi memberi keuntungan yang lebih kepada birokrat yang memiliki kekuasaan. Struktur hubungan itu nampak pada tataran terendah di pedesaan sampai tertinggi di pemerintahan pusat.

 Sebagai kekerasan budaya, korupsi didukung anggapan kuat dan mendalam serta keyakinan yang digdaya bahwa melakukan korupsi itu normal, wajar, tidak apa-apa, boleh-boleh saja. Ranah-ranah budaya yang mendukung anggapan dan keyakinan seperti itu dapat dikenali dalam letupan aneka gejala kecil di tengah percakapan sehari-hari antarwarga masyarakat, seperti yang ternyatakan dalam ungkapan, ”Wajar, dia melakukan korupsi karena dulu, untuk mencapai jabatannya sekarang, pengorbanan materinya besar”, ”Melakukan korupsi boleh-boleh saja, asal bagi-bagi dengan yang lain, tidak dimakan sendiri”, ”Bisa dimaklumi pegawai negeri melakukan korupsi karena gaji mereka kecil, tak cukup buat hidup seminggu”, dan lain-lain.

 Dengan memahami korupsi sebagai sebuah bentuk kekerasan struktural, yang didukung dan dihidupi oleh struktur mendalam dan dengan memahami korupsi sebagai sebentuk kekerasan budaya yang didukung dan dihidupi oleh budaya mendalam, kita bisa menyadari betapa pemberantasan korupsi yang benar-benar bermakna niscaya mencakup perombakan struktur mendalam dan budaya mendalam yang mendukung serta menghidupinya.

Namun, tingkat kedalaman pendekatan untuk melawan kekerasan di tengah kehidupan manusia, kita akan menyadari betapa aneka tindakan gemilang memeriksa intensif serta menangkap tegas para tersangka koruptor, seperti yang telah dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ataupun Kejaksaan Agung akhir-akhir ini, masih tergolong pendekatan untuk melawan korupsi bertingkat dangkal, belum tergolong bertingkat menengah, apalagi mendalam.

 Inilah hakikat pendekatan pemberantasan korupsi yang bertingkat mendalam. Pada situasi ini, bisa disadari betapa ”tingkatan sekadarnya” dari tindakan memeriksa intensif para tersangka koruptor dan tindakan tegas menangkapi mereka, sama sekali tidak mencukupi untuk mengejawantahkan pemberantasan korupsi yang benar-benar mendalam. Oleh karena itu dalam proses penyelesaiannya harus menyentuh sampai pada akar permasalahan yaitu pada level transaksional bukan pada bagaimana cara mengatasinya.

Faktor-Faktor Timbulnya Korupsi

 Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Dari sisi organisasional dapat dilihat bahwa faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya korupsi dalam organisasi birokrat atau pemerintahan adalah:

1.      Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan

2.      Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan Aunalal Zany Irayati yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.

3.      Tidak adanya kultur organisasi yang benar

4.      Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.

5.      Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai

6.      Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.

7.      Kelemahan sistim pengendalian manajemen

8.      Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.

9.      Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi

10.  Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.

 Permasalahan

 Dari apa yang sudah dipaparkan Persoalannya yang dapat diangkat adalah sampai sekarang akar permasalahan korupsi ini belum dapat diungkap secara tuntas, yang penyelesaian yang terjadi masih dalam takaran permukaan saja. Hal ini terlihat bahwa dengan telah ditanganinya kasus korupsi dengan penjatuhan hukuman pidana dan denda berat, masih belum mampu membuat jera bagi para pelaku atau calon pelaku korupsi yang ada, buktinya satu kasus korupsi sudah dapat diselesaikan, muncul korupsi di tempat lain, demikian juga seterusnya.

Artikel ini akan memaparkan strategi penyelesaian korupsi yang selama ini terjadi dalam dunia birokrat di Indonesia dengan menggunakan sudut pandang perilaku keorganisasian.

Pembahasan

Mengatasi korupsi yang terjadi di dunia birokrat dapat dilakukan dengan banyak cara dan dengan pendekatan yang berbeda-beda. Sepeti yang sudah dijelaskan diatas bahwa pendekatan yang dilakukan dalam pembahasan artikel ini adalah melalui pendekatan perilaku organisasi. Adapun pendekatan yang dapat dijelaskan adalah:

Strategy and Structure

Menyusun sebuah strategi dan struktur dalam mengatasi masalah korupsi merupakan langkah awal yang harus dibuat. Strategi dan struktur ini harusnya dibangun mulai dari level ”transaksional” antar individu dalam organisasi birokrat yang dimaksud. Perencanaan yang dibuat dengan memperhatikan semua aspek individu dan hubungan antar individu maupun kelompok dalam organisasi.

Bahwa keberadaan fungsi perencanaan yang memfokuskan pada pemasukan kompetensi situasi yang spesifik dan integrasi yang tepat dari kompetensi ini kedalam pelaksanaan aktifitas management strategic. Organisasi akan lebih sukses dalam mengadaptasi kesempatan transaksional dan hambatan jika mereka melatih pelaku strategi dan posisi pada kekuasaan dan jika para pelaku strategik membicarakan melalui penyusunan multilateral (Boschken, 1990). Ketika telah menyiapkan landasan pada level yang paling mendasar level transaksional yaitu dengan menerapkan untuk keluar dari budaya korupsi dilakukan dengan baik maka akan berkembang menjadi iklim, habit, beliefs, value dan akhirnya menjadi culture organisasi.

Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan suatu proses dari pengaruh sosial, yaitu pemimpin berupaya untuk memperoleh partisipasi sukarela dari para karyawan dalam usaha untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan dalam konteks permasalahan korupsi di lingkungan birokrat memiliki kewenangan untuk mengatasi serta mencegah terjadinya korupsi. Permasalahnnya yang terjadi selama ini adalah pemimpin bukannya mencegah terjadinya korupsi tetapi pemimpin jualah yang turut ”bermain” dalam konsiprasi tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan pemimpin yang memilki komitmen yang kuat terhadap organisasi sehingga dapat melaksanakan tugas sebagaimana mestinya dann bukan menggunakan kewenangan dan kekuasaan untuk melakukan kecurangan. Kepemimpinan membutuhkan lebih dari sekedar wewenang dan kekuasaan. Collins (2001) menjelaskan bahwa ada lima (5) level kepemimpinan yaitu:

1.      Level 1 highly capable individual, yang berkaitan dengan kontribusi yang produktif melalui bakat, pengetahuan, keahlian dan kebiasaan kerja yang baik.

2.      Level 2 berkaitan dengan contributing team member yaitu memberikan kontribusi untuk pencapaian tujuan kelompok, bekerja secara efektif dengan orang lain dalam setting kelompok.

3.      Level 3 berkaitan dengan kompetensi manajer yaitu menyusun orang dan sumber daya kearah pencarian yang efektif dan efisien dari tujuan yang ditetapkan sebelumnya. .

4.      Level 4 berkaitan dengan effective leader yaitu katalisator komitmen untuk pencarian yang giat dari visi yang jelas dan memaksa, menstimulasi kelompok untuk standar kinerja yang tinggi.

5.      Level 5 berkaitan dengan executif melalui membangun sesuatu kehebatan yang berlangsung lama melalui kombinasi yang paradox dari kerendahan hati dan tekad profesional.

Bila sebuah organisasi birokrat memiliki pemimpin yang seperti kriteria diatas maka dengan kemampuan dan kapabilitas yang mereka miliki akan mampu menggiring organisasi birokrat ke arah yang jauh lebih baik dan maslah-masalah yang terjadi dalam organisasi seperti korupsi akan mudah dicegah dan diatasi. Hal ini bisa terjadi karena pemimpin memiliki relationship yang baik dalam jangka waktu yang sangat panjang dengan seluruh perangkat organisasinya sehingga apapun yang terjadi dalam organisasi dapat dipecahkan termasuk korupsi dan gejala-gejala terjadinya korupsi tersebut.

Untuk harus tetap menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada maka seorang pemimpin selain merubah mindset juga harus mempelajari keahlian kritis jika mereka mengharapkan untuk menghasilkan skala yang besar, pertumbuhan jangka panjang (Slywotzky, 2002). Dengan terus memperbaharui pola pikir dan keahlian pimpinan organisasi birokrat akan semakin jeli untuk melihat fenomena terjadi korupsi yang terjadi ataupun yang akan terjadi sehingga pola pengantisipasian oleh pimpinan akan menjadi lebih akurat dari waktu ke waktu.

Lingkungan Kerja Organisasi

Dengan melihat proposisi dari manfaat work-life (kehidupan kerja) yang dapat mendorong karyawan untuk ikut berpartisipasi (Lambert, 2000). Hal ini akan membuat kehidupan kerja karyawan menjadi harmonis pada semua aspek termasuk aspek finansial yang menjadi salah satu pemicu terjadinya praktek korupsi. Pengembangan dari social exchange theory dan didalam menyusun kembali Organizational Citizenship Behavior (OCB) sebagai sebuah contoh dari civic citizenship yang menyediakan sebuah landasan untuk merumuskan hipotesis yang lebih spesifik yang berhubungan dengan pengalaman kerja dengan manfaat work-life pada organisasi, khususnya pada perilaku pada tingkat citizenship dan partisipasi pada tempat kerja (Lambert, 2000). Bahwa dengan menyusun kembali Organizational Citizenship Behavior (OCB) beserta dimensi-dimensinya seperti altruism, courtesy, sportmanship dan civic virtue (Kidder, 2001) dan kemudian diterjemahkan dengan baik kepada anggota organisasi, maka mereka akan merasa merupakan bagian dari organisasi yang dalam hal ini adalah milik rakyat sehingga akan sulit melakukan tindakan korupsi.

Eisenberger et al., (Lambert, 2000) menyatakan bahwa karyawan cenderung untuk peduli terhadap organisasi yang memperhatikan kontribusi mereka dan juga keberdaan mereka. Level yang tinggi dalam Perceived Organizational Support akan bisa Penanganan Korupsi Di Dunia Birokrat menciptakan kewajiban diantara individu untuk mengembangkan organisasi. Sebenarnya bukanlah pengalaman pekerja dengan work-life benefit ataupun partisipasinya ditempat kerja yang mendukung organizational support. Yang mendukung adalah hubungan antara pekerja dan supervisor (Lambert, 2000). Dari penjelasan tersebut dapat dismpulkan bahwa untuk penanganan korupsi dari awal haruslah mendapat dukungan bukan hanya secara personal baik itu pemimpin ataupun bawahan tetapi juga dari dukungan organisasional.

aringan Kerja Informal Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa para manajer selain berkepentingan terhadap hirarkhi organisasi tradisional, juga membutuhkan jaringan kerja informal melalui kontak person dalam rangka menyelesaikan pekerjaan (Cross, 2002). Disini dapat dijelaskan bahwa untuk menyelesaikan permasalahan korupsi maka pimpinan bukan satu-satunya yang mampu mengatasinya dengan bekerja sendirian akan tetapi juga bisa dilakukan dengan membangun jaringan kerja (network) informal dalam organisasi.

Tindakan yang dilakukan oleh para eksekutif dalam rangka menjaga social capital sebagai alat yang menggantungkan pada intuisi. Menurut Cross & Pursak (Cross, 2002) diperlukan adanya cara agar para eksekutif dapat mengelola kontak person ini dalam bentuk jaringan kerja informal dengan mengunakan empat peran penting yang berhubungan satu dengan lainnya dalam satu kelompok agar dapat diperoleh sebuah jaringan kerja informal yang sistematis :

1.      Penghubung sentral, yaitu jalur yang menghubungkan kebanyakan orang dalam sebuah jaringan kerja informal satu dengan lainnya. Dengan begitu dapat mengetahui siapa yang dapat menyajikan informasi penting atau ahli yang menggambarkan keseluruhan jaringan kerja untuk mendapatkan pekerjaan yang dilakukan. Dengan adanya penghubung sentral maka pengontrolan melalui jaringan kerja informal akan sangat mudah dilakukan sehingga kesempatan untuk melakukan tindakan korupsi akan semakin sulit.

2.      Boundary spanners yang menghubungkan sebuah jaringan kerja informal dengan bagian lain dari perusahaan atau dengan jaringan kerja yang sama dalam organisasi lain. Mereka memanfaatkan waktu untuk konsultasi dengan dan menasehati setiap individu dari berbagai departemen yang berbeda. Boundary spanner mempertahankan hubungan terutama dengan orang diluar jaringan kerja informal. Bila sebuah jaringan kerja informal boundary spanners dilakukan maka kerja sama dengan organisasi lain akan terbentuk dan dalam kasus penanganan korupsi bisa lebih diterapkan dengan baik karena bisa mengkombinasikan strategi organisasi dengan strategi organisasi lain. Dengan demikian sistem penanganannya korupsi akan terus mengalami perbaikan.

3.      Information broker yaitu memegang subgrup yang berbeda dalam sebuah jaringan kerja informal secara bersama. Jika mereka tidak mengkomunikasikan semua  , maka jaringan kerja secara keseluruhan akan terpecah menjadi lebih kecil, segmen menjadi tidak efektif. Sama seperti penghubung sentral, information broker memainkan setiap peran penting yang organisasi coba untuk mengelola jaringan kerja informal yang besar melalui orang-orang ini.

4.      Peripheral specialists yang setiap orang dalam jaringan kerja informal dapat beralih pada keahlian khusus. Meskipun hanya terbatas pada peran-peran tertentu, tetapi orang-orang ini memainkan peran penting dalam jaringan kerja melalui penyediaan keahlian.

Bila peripheral specialists mampu memainkan perannya dengan baik maka penanganan kasus korupsi dapat dijalankan dengan baik pula karena organisasi memiliki orang yang punya keahlian khusus dalam mengelola penanganan korupsi baik itu dalam organisasinya ataupun melalui jaringan kerja informal. Untuk mengatasi ini, maka langkah awal dalam pengelolaan jaringan kerja informal harus menjadikannya terbuka. Kegiatan itu dapat dilakukan melalui teknik yang sering dinamakan Social Network Analysis (SNA), yakni sebuah pendekatan alat grapis yang menggambarkan hubungan dalam sebuah organisasi (Cross, 2002). Social Network Analysis memberikan artian yang beraneka ragam serta sistematik dalam melakukan penilaian jaringan informasi melalui pemetaan dan menganalisis hubungan antara karyawan, kelompok dan deperatemen atau pada seluruh organisasi. Dalam memetakan arus informasi maka social network analysis untuk menilai karakateristik hubungan yaitu knowledge, access, engagement dan safety diantara sebuah kelompok (Cross, 2001).

Analisis terhadap jaringan sosial dapat membantu penanganan masalah korupsi. Analisis tersebut dilakukan terhadap hubungan antara karyawan, kelompok dan departemen ataupun organisasi secara keseluruhan sehingga segala sesuatu yang terjadi termasuk rencana ataupun tindakan yang memanfaatkan celah untuk melakukan korupsi mudah dikontrol yang didukung oleh empat aspek analisis jaringan kerja sosial. Untuk memperbaiki cara manajer meningkatkan hubungan dengan orang-orang adalah (1) tingkat yang mana manajer mencari keluar orang-orang didalam atau diluar bidang fungsionalnya. (2) derajat dimana hirarkhi, kedudukan, dan lokasi yang terjadi dengan hubungan sosial manajer. (3) lama waktu manajer mengetahui hubungan. (4) tingkat yang mana para jaringan kerja manajer personalia menghasilkan interaksi yang membentuk kedalam sebuah skedul (Cross, 2002).

Benchmarking

Secara umum semua organisasi mencoba untuk mereplikasi praktek terbaik dan mengelola pengetahuan organisasi tetapi meskipun demikian, secara mayoritas berusaha untuk meniru keunggulan dari kegagalan (Szulanski, 2002). Bahwa dalam penanganan korupsi, organisasi birokrat bisa melakukan perbandingan dan meniru apa yang sudah dilakukan oleh organisasi lain. Bagaimana mereka melakukan penanganan korupsi, cara-cara mencegah dan mengatasinya, bagaimana peranan kepemimpinan dalam masalah tersebut, sanksi-sanksi apa yang diberikan dan lainnya. Permasalahannya adalah bahwa dalam melakukan replikasi atau melakukan benchmarking harus melihat situasi dan kondisi organisasi secara cermat karena penanganan di setiap organisasi tidak akan pernah sama. Szulanski & Winter (Szulanski, 2002) juga menjelaskan bahwa ada dua hal yang harus dilakukan untuk sukses dalam melakukan replikasi:

1.      Jangan hanya mengandalkan pendapat ahli dan dokumentasi untuk pemahaman yang menyeluruh terhadap aktivitas yang kompleks. Dengan kata lain kita harus memperhatikan aktifitas yang akan dilaksanakan itu sendiri.

2.      Ketika kita melihat secara langsung pada aktivitas yang akan dilaksanakan, jangan berasumsi kita memahami sepenuhnya ini akan berhasil lebih baik dari yang diungkapkan para ahli. Keyakinan yang terlalu tinggi harus di sesuaikan lagi.

Akhirnya pimpinanlah yang harus menentukan apakah mereka ingin menambah pengetahuan yang telah ada atau menciptakan pengetahuan yang baru. Jika menambah, maka replikasi dengan modifikasi yang terbatas adalah jalan yang terbaik. Jika melakukan inovasi mereka melakukan modifikasi dan adaptasi. Menambah pengetahuan berarti menggunakan apa yang telah dipelajari orang lain, dengan usaha dan terkadang kepedihan, melalui pengalaman dan kegagalan. Dengan demikian meraka bersandar pada sesuatu yang kuat, namun perlu diingat meniru bukan hal yang sepele tapi merupakan tantangan untuk dapat berhasil.

 Konsep Sosial Dalam aplikasinya konsep social capital ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai dasar anatara lain: obligasi dan ekspetasi dimana hal tersebut tergantung pada kepercayaan pada lingkungan sosial, kemampuan arus informasi dari struktur sosial dan norma-norma yang disertai dengan sangsi-sangsi (Coleman, 1988). Aplikasi konsep ini dalam penanganan korupsi bahwa sebagai landasan penangan korupsi dalama dunia birokrat menggunakan nilai-nilai sosial yang tinggi dengan adanya normanorma sosial yang disertai dengan sangsi-sangsi bila melakukan pelanggaran yang akan berimplikasi langsung pada individu-individu yang berniat untuk melakukan korupsi. Pengaruh kepercayaan lingkungan sosial akan membuat individu akan merasa sulit pada level ”transasksional” untuk melakukan tindakan korupsi. Hal ini terjadi karena tekanan lingkungan sosial yang diperhitungkan serta sangsi atas norma-norma sosial akibat pelanggaran seperti korupsi. Hubungan dan struktur sosial juga menjadi bagian dari konsep ini. Dalam tahapan konsep sosial ini juga dapat dilihat dari jenis-jenis keahlian sosial yang dijelaskan oleh Ferris et al., (Ferris, 2000) yang menjelaskan enam tipe keahlian atau kemampuan sosial yaitu :

1.      Kecerdasan sosial (social intelligence) yang menunjukan akan kemampuan untuk mengerti, memahami dan mengatur orang. Kecerdasan ini dianggap sebagai sesuatu yang melebihi IQ, sehingga merupakan faktor dominan dalam political skill. Hal ini sangat dibutuhkan oleh seorang pimpinan organisasi birokrat karena dengan kemampuan memahami serta mengatur dinamika kerja yang termasuk didalamnya tindakan korupsi oleh anggotanya sehingga peran dimainkan melalui keahlian politiknya akan semakin dominan. Kondisi ini sangat baik untuk keberlangsungan hidup organisasi. Bila semua anggota memiliki kecerdasan sosial yang tinggi maka mereka akan berpikir jernih untuk mengatasi permasalahan yang ada dalam organisasi dan terus menjaga agar organisasi dapat survive tanpa gangguan seperti masalah korupsi.

2.      Kecerdasan emosional, (Emotional intelligence) menunjukan kemampuan untuk memonitor diri sendiri dan perasaan orang lain dan emosi, dan untuk menggunakan informasi ini dalam pelaksanaan dan kebijakan emosi seseorang. Bukan hanya kecerdasan sosial lewat IQ seorang pemimpin dan anggotanya, tetapi juga dibutuhkan kecerdasan emosional guna menyeimbangkan kecerdasan yang dimiliki. Dengan demikian organisasi akan semakin kuat karena individuindividu yang ada didalamnya mampu untuk memonitor keadaan dalam organisasi dan dapat memahami apa yang terjadi dalam organisasi. Dengan demikian kalaupun ada masalah korupsi maka akan sangat mudah untuk diatasi dan bahkan bisa dicegah sebelumnya.

3.      Ego Resiliency merupakan bentuk social skill dalam adaptasi lingkungan melalui kapasitas yang dimiliki dalam menghadapi lingkungan yang dinamis. Seorang pemimpin dalam mengatasi permasalahan yang ada dalam organisasi harus memiliki ”sifat keakuan” dalam artian yang positif karena disini lingkungan yang selalu berubah-ubah dengan dinamikanya. Sesekali pemimpin dalam dunia birokrat ini dapat menggunakan ”kuasa” untuk mengambil keputusan menyangkut hal yang terjadi dalam organisasinya.

4.      Social Self Efficacy berkaitan dengan keputusan seseorang dalam interaksi sosial mereka terhadap keadaan yang terjadi. Seorang pemimpin harus mampu untuk membuat keputusan ketika seorang dari staffnya melakukan tindakan korupsi atau yang mengarah kesana. Interaksi sosial dengan pelakunya dapat membuat pelaku akan menjadi lebih baik pada masa yang akan datang. Tentunya interaksi tersebut disertai dengan norma-norma sosialnya.

5.      Self monitoring menunjukkan kemampuan seseorang dalam mengontrol emosi mereka serta menciptakan pengaruh yang diinginkan, sehingga mengarah pada perilaku sosial yang tepat. Seorang pimpinan harus mampu menciptakan pengaruh dalam organisasi untuk mampu memonitor dan sehingga perilaku sosial dapat terbentuk dalam organisasi dan semua anggota organisasi dapat melaksanakan tanggung jawab dan fungsi sosialnya sesuai dengan tujuan organisasi.

6.      Tacit knowledge dan practical intelligence. Tacit knowledge berkaitan dengan tindakan yang orientasi pada pengetahuan yang relevan untuk pencapaian tujuan, hubungannya dengan kecerdasan practical ada pada konsep ”kecerdasan (savvy)”.

Dengan memiliki kecerdasan practical maka secara cepat permasalahan ataupun gejala terjadi korupsi dapat diatasi.

Korten (Djatimiko, 2005) menjelaskan bahwa dunia bisnis, selama setengah abad terakhir, telah menjelma menjadi institusi paling berkuasa atas planet ini. Institusi yang dominan, di masyarakat manapun, harus mengambil tanggung jawab untuk kepentingan bersama. Setiap keputusan yang dibuat, setiap tindakan yang diambil, harus dilihat dalam kerangka tanggung jawab tersebut. Hal ini menunjukan bahwa penangan kasus korupsi sesungguhnya menjadi tanggung jawab bersama setiap individu dalam organisasi birokrat dan semua organisasi. Ini dikarenakan organisasi birokrat adalah milik semua orang sehingga organisasi juga memikul tanggung jawab karena merupakan kepentingan bersama.

Inovasi dalam Penanganan Lebih ekspresif untuk mengeluarkan ide-ide, yang mendorong setiap individu berinovasi menciptakan produk yang viable (masuk akal) dan dapat dipasarkan secepat mungkin (Bushnell, 2002). Hal ini menunjukan bahwa dalam penanganan masalah korupsi didunia birokrat tidak murni harus menjadi tanggung jawab seorang pimpinan saja tetapi semua anggota mempunyai hak untuk mengeluarkan ide-ide dalam mengatasi permaslahan korupsi tersebut. Dengan memberikan kesempatan yang lebar kepada anggota untuk berekspresi lebih jauh dengan ide-idenya maka seorang pimpinan akan menjadi lebih mudah untuk menangani masalah korupsi karena disinilah bisa terjadi ”brainstorming”.

Organisasi harus memahami bahwa mereka akan bekerja dengan baik ketika mereka yakin dengan apa yang dilakukannya dan bagaimana perusahaan memperlakukan mereka, dan ketika mereka melihat bahwa apa yang dilakukannya lebih dari sekedar memperkaya pemegang saham (Vasella, 2002). Bila organisasi memperhatikan karyawan sebagaimana adanya maka karyawan juga akan memandang organisasi sebagai bagian dari mereka. Mereka akan merasa memiliki organisasi sehingga untuk melakukan sesuatu yang merugikan organisasi seperti melakukan tindakan korupsi akan sangat sulit terjadi karena mereka betul-betul merasa telah berkecukupan dengan apa yang telah diberikan organisasi kepada mereka baik meskipun itu hanya dalam bentuk penghargaan. Mereka akan menjadi sangat loyal karena merasa sangat dihargai oleh organisasi.

Coutu (2002) menjelaskan bahwa lebih dari pendidikan, lebih dari pengalaman, lebih dari pelatihan, seseorang yang ulet dan tabah akan menentukan siapa yang digantikan dan yang membuat kesalahan. Keuletan bukanlah masalah etika yang baik ataupun buruk. Hal tersebut hanya merupakan keahlian dan kapasitas untuk tetap tegar dalam kondisi stres maupun perubahan. Hal ini menunjukan bahwa dalam penangan korupsi pimpinan dan staffnya bukan hanya mengandalkan kemampuan, pengaruh dan kecerdasannya saja tapi juga keuletan dalam menangani masalah. Ini disebabkan karena masalah korupsi yang ada didunia birokrat di Indonesia ini bukanlah masalah yang baru lagi tetapi suatu hal yang sudah membudaya yang harus dipangkas dari level ”transkasional” dari hubungan antar individu dan itu membutuhkan waktu yang lam dan butuh keuletan dan ketabahan untuk menanganinya.

Kesimpulan

Penanganan korupsi di dunia birokrat di Indonesia harus bersifat hati-hati, tidak parsial, mampu mengungkap akar permasalahan korupsi,diikuti dengan komitmen yang tinggi untuk memberantas korupsi, mempunyai visi dan misi yang sama serta adanya dukungan dari seluruh rakyat. Jangan sampai yang terjadi malahan masyarakat memberikan kesempatan untuk melakukan korupsi, kalau hal ini yang terus terjadi gerakan korupsi yang telah dicanangkan pemerintah hanya tinggal nama saja tidak membuahkan hasil apa-apa, artinya korupsi masih tumbuh subur di negara Indonesia tercinta ini.

Tanpa transparansi dan akuntabilitas birokrasi, hubungan kesetaraan yang adil antara birokrat dan nonbirokrat tidak bisa diwujudnyatakan. Dengan demikian, struktur mendalam yang mendukung serta menghidupi korupsi tidak pernah bisa dirombak Oleh karena itu langkah awal yang harus dilakukan adalah memutuskan mata rantai korupsi pada level ”transaksional” sehingga budaya korupsi lambat laun akan menghilang.

Pimpinan juga harus memainkan peran dalam mengatasi masalah ini dengan kebijakan yang diambilnya. Dengan menjadikan semua orang dalam organisasi ”somebody special” maka semua anggotta organisasi akan merasa menjadi bagian dari organisasi dan akan menjadi ”doers dan analyzer” serta memiliki komitmen dan level OCB yang tinggi dan kuat pada organisasi sehingga tindakan yang dilakukan selalu menjadi bagian positif organisasi.

Selain Analisis jaringan sosial dengan melibatkan individu ataupun kelompok diluar organisasi untuk turut membantu organisasi menyelesainkan permasalahan. Selain itu penanganan korupsi dunia birokrat bukan ”pure” merupakan tanggung jawab pimpinan tetapi juga staffnya beserta semua pihak yang berhubungan dengan organisasi.

 Daftar Pustaka

Boschken, H.L. 1990. Strategy and Structure: Reconceiving the Relationship. Journal of Management, Vol.16. No.1: pp. 135-150.

 Bushnell, N. 2002. Let Go of Your Ideas. (Inspring InovationI), Harvard Business Review, August.

Coleman, J.S. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital. American Journal of Sociology, Vol.94. Supplement: pp. S95-S120.

Collins, J. 2001. Level 5 Leadership: The Triumph of Humility and Fierce Resolve. Harvard Business Review, January

Coutu, D.L. 2002. How Resilience Works. Harvard Business Review, May.

Cross, R., Parker, A., Prusak, L. dan Borgatti, S.P. 2001. Knowing What We Know: Supporting Knowledge Creation and Sharing in Social Networks. Organizational Dynamics, Vol.30, No.2: pp. 100-120.

Cross, R. dan Prusak, L. 2002. The People Who Make Organizations Go-Or Stop. Harvard Business Review, June.

Djatmiko, H.E. 2005. Saatnya Menabur, SWA, 26/XXI/. Jakarta

Ferris, G.R., Perrewe, P.L., Anthony, W.P. dan Gilmore, D.C. 2000. Political Skill at Work. Organizational Dynamics, Vol.28, No.4: pp 25-37.

Kidder, D.L. dan Parks, J.M. 2001. The Good Soldier: who is s(he)?. Journal of Organizational Behavior, Vol.22: pp. 939-959.

Lambert, S.J. 2000. Added Benefits: The Link Between Work-Life Benefits And Organizational Citizenship Behavior. Academy of Management Journal, Oktober.

Slywotzky, A.J., dan Wise, R. 2002. The Growth Crisis-and How to Escape It. Harvard Business Review, July.

Szulanski, G dan Winter, S. 2002. Getting it Right the Second time. Harvard Business Review, January.

Vassela, D. 2002. Make it meaningfull (Inspring Inovation). Harvard Business Review, August.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar