Pendidikan antikorupsi
mulai dirintis implementasinya di sekolah pada tahun 2010 pada masa penerapan Standar
Isi 2006 (selanjutnya di sini diberi istilah masa penerapan Kurikulum 2006).
Hal ini diperkuat dengan Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012, yang menugaskan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan sebagai penanggung jawab untuk melakukan aksi berupa
pengajaran antikorupsi sebagai sisipan dalam kurikulum karakter bangsa pada
pendidikan dasar dan menengah, dengan sasaran berupa pengintegrasian
nilai-nilai antikorupsi dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah
(Sekretariat Negara, 2011), karena nilai-nilai antikorupsi belum terakomodasi
secara eksplisit dalam Kurikulum 2006 (Departemen Pendidikan Nasional, 2006).
Korupsi sering kali
berawal dari kebiasaan yang tidak disadari, misalnya penerimaan hadiah oleh
pejabat penyelenggara Negara atau pegawai negeri sipil dalam suatu acara
pribadi atau pemberian suatu fasilitas tertentu yang tidak wajar dari rekanan.
Hal semacam ini semakin lama akan menjadi kebiasaan, cepat atau lambat akan
mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pejabat yang bersangkutan. Mengajarkan
pendidikan antikorupsi di sekolah dasar pada dasarnya mengajarkan pendidikan
karakter kepada siswa, seperti sifat sederhana, kejujuran, kesopanan,
integritas, kerjasama, berkata dan berbuat benar, berani menegur jika orang
lain melakukan kesalahan dan sebagainya. Untuk mengajarkan semua itu,
diperlukan kurikulum yang tepat agar sikap antikorupsi siswa benar-benar
menjadi kebiasaan. Sekolah sebagai tempat pembelajaran memberikan takaran yang
pas tentang kebutuhan siswanya, sehingga kurikulum antikorupsi yang dibuat
selaras dengan kurikulum pendidikan nasional.
Konsep membelajarkan
antikorupsi Cara membelajarakan pendidikan antikorupsi dapat dilakukan pada
semua mata pelajaran. Seperti cara mengajarkan pelajaran yang lainnya, guru
harus menyusun rencana pembelajaran yang jelas karena guru menjadi kunci utama
dalam mengajarkan antikorupsi. Guru yang berkuasa berarti guru yang dapat
mengonsep dan praktik pembelajaran sesuai dengan silabusnya (Jha, 2011). Setiap
pertemuan dengan siswa, rencana pembelajaran tersebut memiliki ciri khas yang
berbeda. Sehingga, siswa tidak akan cepat bosan dengan berbagai hal baru yang
disampaikan oleh guru.Dalam setiap rencana pembelajaran guru harus menentukan:
materi pelajaran, tujuan pembelajaran, model pembelajaran, metode, alat dan
bahan, dan penilaian. Guru yang memiliki kemampuan dan potensi untuk mencapai
tujuan sekolah dan pendidikan disebut guru yang berkuasa (Jha, 2011). Semua
komponen tersebut disusun secara rinci dalam setiap kegiatanya, baik yang
dilakukan guru ataupun siswa. Tanpa mengurangi fokus materi pembelajaran, dalam
mengajarkan antikorupsi guru sangat dianjurkan untuk memberikan contoh nyata
dalam kehidupan sehari-hari yang termasuk perbuatan korupsi.
Membangun pendidikan
antikorupsi di sekolah pendalaman dapat menghadapi beberapa tantangan khusus:
1. Keterbatasan Akses
Pendidikan:
- Daerah pendalaman seringkali mengalami
keterbatasan akses terhadap fasilitas pendidikan, yang dapat menghambat
implementasi program antikorupsi yang membutuhkan infrastruktur tertentu.
2. Kurangnya Sumber Daya
Manusia Terlatih:
- Keberhasilan pendidikan antikorupsi
bergantung pada ketersediaan guru dan staf sekolah yang terlatih. Di daerah
pendalaman, kurangnya sumber daya manusia terlatih bisa menjadi hambatan.
3. Kesenjangan
Teknologi:
- Terbatasnya akses atau kesenjangan
teknologi di daerah pendalaman bisa menyulitkan penggunaan metode pembelajaran
modern yang mendukung pendidikan antikorupsi.
4. Kurangnya Kesadaran
akan Korupsi:
- Tingkat kesadaran masyarakat terhadap
korupsi mungkin rendah, sehingga pendidikan antikorupsi dihadapkan pada tugas
untuk meningkatkan pemahaman dan urgensi penanganan korupsi.
5. Tantangan Budaya dan
Lokal:
- Budaya dan nilai-nilai lokal dapat menjadi
tantangan, karena pendekatan yang diambil haruslah sesuai dengan konteks dan
dapat diterima oleh masyarakat setempat.
Membangun pendidikan
antikorupsi di sekolah pendalaman dengan melakukan Strategi Implementasi;
1. Pendekatan
Kolaboratif:
- Membangun kemitraan dengan pihak-pihak
terkait seperti komunitas lokal, pemerintah daerah, dan organisasi
non-pemerintah untuk mendukung pendidikan antikorupsi.
2. Pengembangan Materi
yang Kontekstual:
- Mengembangkan materi yang sesuai dengan
realitas dan kebutuhan masyarakat pendalaman untuk meningkatkan daya terima dan
relevansi.
3. Pelatihan dan
Pendampingan:
- Menyediakan pelatihan dan pendampingan
intensif kepada tenaga pendidik agar dapat mengatasi keterbatasan sumber daya
dan infrastruktur.
4. Pemanfaatan Sumber
Daya Lokal:
- Menggunakan sumber daya lokal, seperti
tokoh masyarakat atau tradisi lokal, dalam pendidikan antikorupsi untuk
membangun keterhubungan dengan komunitas.
5. Penggunaan Metode
Pembelajaran Alternatif:
- Menggunakan metode pembelajaran yang tidak tergantung pada teknologi tinggi, seperti permainan peran, diskusi kelompok, atau kegiatan praktis.
DAFTAR PUSTAKA
https://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jpd/article/download/11142/7081/
https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/asanka/article/download/2990/1856
http://repository.iainbengkulu.ac.id/9815/1/229.
DEVI MARTINA LOVA.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar