DISIPLIN
Pendidikan disiplin merupakan suatu proses bimbingan yang bertujuan menanamkan pola perilaku tertentu, kebiasaan-kebiasaan tertentu, atau membentuk manusia dengan ciri-ciri tertentu, terutama untuk meningkatkan kualitas mental dan moral (Sukadji, 1988). Di dalam keluarga pendidikan disiplin dapat diartikan sebagai metode bimbingan orang tua agar anaknya mematuhi bimbingan tersebut.
Pendidikan disiplin merupakan suatu proses bimbingan yang bertujuan menanamkan pola perilaku tertentu, kebiasaan-kebiasaan tertentu, atau membentuk manusia dengan ciri-ciri tertentu, terutama untuk meningkatkan kualitas mental dan moral (Sukadji, 1988). Di dalam keluarga pendidikan disiplin dapat diartikan sebagai metode bimbingan orang tua agar anaknya mematuhi bimbingan tersebut.
Setiap
orangtua pasti berusaha untuk mengajarkan disiplin kepada anak-anaknya, dengan
menanamkan perilaku yang dianggap baik dan menghindari perilaku yang dianggap
tidak baik. Hal ini memang akan lebih mudah dilakukan jika anak sebagai seorang
individu mematuhi kemauan orang tuanya. Namun demikian, tujuan utama dari
disiplin bukanlah hanya sekedar menuruti perintah atau aturan saja. Patuh
terhadap perintah dan aturan merupakan bentuk disiplin jangka pendek. Sedangkan
tujuan pendidikan disiplin adalah agar setiap individu memiliki disiplin jangka
panjang, yaitu disiplin yang tidak hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap
aturan atau otoritas, tetapi lebih kepada pengembangan kemampuan untuk
mendisiplinkan diri sendiri sebagai salah satu ciri kedewasaan individu.
Kemampuan untuk mendisiplinkan diri sendiri terwujud dalam bentuk pengakuan
terhadap hak dan keingian orang lain, dan mau mengambil bagian dalam memikul
tanggung jawab sosial secara manusiawi. Hal inilah yang sesunguhnya menjadi
hakekat dari disiplin.
Hukuman
Pembentukan
disiplin diri merupakan suatu proses yang harus dimulai sejak masa kanak-kanak.
Oleh karena itu pendidikan disiplin pertama-tama sudah dimulai dari keluarga
(orangtua). Dalam kehidupan masyarakat secara umum, metode yang paling sering
digunakan untuk mendisiplinkan warganya adalah dengan pemberian hukuman. Hal
yang sama dilakukan juga oleh sebagian besar orangtua atau pun guru dalam
mendidik anak-anak atau murid-murid. Kerugiannya adalah disiplin yang tercipta
merupakan disiplin jangka pendek, artinya anak hanya menurutinya sebagai
tuntutan sesaat, sehingga seringkali tidak tercipta disiplin diri pada mereka.
Hal tersebut disebabkan karena dengan hukuman anak lebih banyak mengingat
hal-hal negatif yang tidak boleh dilakukan, daripada hal-hal positif yang
seharusnya dilakukan.
Dampak
lain dari penggunaan hukuman adalah perasaan tidak nyaman pada anak karena
harus menanggung hukuman yang diberikan orangtuanya jika ia melanggar batasan
yang ditetapkan. Tidak mengherankan jika banyak anak memiliki persepsi bahwa
disiplin itu adalah identik dengan penderitaan. Persepsi tersebut bukan hanya
terjadi pada anak-anak tetapi juga seringkali dialami oleh orangtua mereka.
Akibatnya tidak sedikit orangtua membiarkan anak-anak “bahagia” tanpa disiplin.
Tentu saja hal ini merupakan suatu kekeliruan besar, karena di masa-masa
perkembangan berikutnya maka individu tersebut akan mengalami berbagai masalah
dan kebingungan karena tidak mengenal aturan bagi dirinya sendiri.
Beberapa
Saran
Walaupun
dalam merespon perilaku setiap individu akan memiliki cara-cara berbeda antara
satu dengan yang lainnya. Ada beberapa hal pokok yang dapat diacu sebagai dasar
merespon setiap perilaku dalam rangka pendidikan disiplin, diantaranya adalah
sebagai berikut.
a.
Berkelanjutan
Pendidikan
merupakan suatu proses berkelanjutan, artinya disiplin tidak hanya diberikan
setelah anak masuk sekolah atau setelah masa remaja, tetapi harus sudah dilatih
sejak anak baru dilahirkan ke dunia ini. Sejak anak membutuhkan kedekatan
dengan orang dewasa, membutuhkan kasih sayang orang dewasa. Orang tua dapat
memulai mendidik disiplin dengan menunjukan mana yang boleh dan mana yang tidak
boleh, mana yang baik dan mana yang jelek. Sebagai contoh agar anak dapat
disiplin dalam buang air, maka orang tua harus secara berkelanjutan dan
konsisten dalam membersihkan dan mengganti pakaian sang bayi, ia di kenalkan
pada situasi yang menyenangkan dan tahu apa yang harus dilakukan dengan
semestinya sejak dini. Dengan perlakuan orang tua yang demikian akan
meringankan tugas pada masa berikutnya karena anaknya tidak akan mengenal ngompol.
Selain
itu pendidikan disiplin tidak hanya ditekankan pada waktu anak membuat perilaku
yang tidak diinginkan atau pada waktu anak gagal mencapai harapan orang tua.
Perilaku-perilaku yang diinginkanpun perlu (meski tidak harus terus-menerus),
mendapatkan pengakuan, persetujuan atau penghargaan. Jika anak sejak bayi telah
dilatih untuk berdisiplin maka pada masa remaja ia akan memiliki disiplin diri
yang cukup sehigga akan mampu menahan segala godaan yang datang dari teman
maupun lingkungan sekitarnya.
b.
Autoritatif
Pendidikan
disiplin sebaiknya tidak dilakukan dengan cara yang terlalu otoriter, tetapi
juga tidak terlalu memperbolehkan semuanya (permisif). Cara yang tepat dalam
pendidikan disiplin bagi remaja disebut dengan istilah moderatnya autoritatif :
fleksibel, tetapi bila perlu tegas. Dalam menerapkan cara disiplin yang
permisif (dapat dikatakan sebagai mendidik tanpa disiplin) cenderung
menghasilkan anak remaja yang manja, semena-mena, anti sosial dan cenderung
agresif. Sebaliknya, disiplin yang keras yang terutama dilakukan dengan memberikan
hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja. Hal
ini dapat membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan
orang lain, dan membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan
spontanitas serta inisiatif bahkan ada pula yang pada akhirnya melampiaskan
kemarahannya pada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial akan lebih
berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutam. Siapa yang lebih berkuasa dapat
berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Ada
pula yang menimbulkan pembelotan, hal ini terjadi terutama bila
larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif
(cara) lain untuk memenuhi kebutuhan yang mendasar. Cotoh: remaja dilarang
untuk keluar bermain, tetapi di dalam rumah ia tidak melakukan apa-apa dan
tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya karena kesibukan mereka.
c. Beri Batas-Batas yang Jelas
Batas-batas
tentang boleh atau tidak boleh haruslah jelas, misalnya kapan anak boleh
bermain, dimana dan dengan siapa sehingga anak tidak menganggu orang lain dan
menghindarkan anak dari kecelakaan. Sejak masa kanak-kanak orangtua harus sudah
memberikan batasan-batasan tersebut. Misalnya: anak boleh mengambarkan dengan
pensil warna dikertas-kertas, dipapan yang telah ditentukan, tetapi tidak boleh
di buku pelajaran kakaknya, buku ayah atau ibu, dan tidak boleh menggambar di
tembok.
Penting
bagi orangtua untuk mengingat bahwa batasan dan fasilitas yang diberikan oleh
orang tua, hendaknya memenuhi kriteria tertentu: diperlukan, masuk akal,
diberikan dengan penuh ketulusan dan kebaikan hati, dan secara konsisten sesuai
kematangan anak. Fasilitas dianggap diperlukan bila anak dapat mencapai
kemajuan yang lebih baik jika adanya fasilitas tersebut. Batas dan fasilitas dianggap
masuk akal bila memenuhi pertimbangan kesehatan dan keadilan. Kebaikan hati
adalah keinginan dalam memenuhi kebutuhan anak untuk berkembang seoptimal
mungkin tanpa melampaui kemampuan anak mengontrol diri. Fasilitas yang
konsisten dengan kematangan umum anak berarti tergantung pada perkembangan
kecerdasan dan kematangan anak. Makin berkembang kematangan anak akan makin
dapat diperluas batas-batas dan fasilitas. Dengan kata lain pada remaja luasnya
batas tersebut sangatlah ditentukan kematangan yang telah dicapai oleh remaja
tersebut.
d.
Konsisten & Fleksibel
Setelah
batas-batas ditentukan, maka orangtua harus mengupaya kesepakatan dengan
anaknya untuk saling mematuhi apa yang telah ditentukan. Walau demikian,
batas-batas yang ditentukan ini harus terus direvisi sesuai dengan perkembangan
anak dan anak telah mencapai remaja maka penentuannya harus mengikut sertakan
masukan dari remaja. Dengan cara tersebut diharapkan dapat membantu remaja
untuk lebih cepat mengembangkan tanggung jawab atas disiplin diri.
Meski
batas-batas telah ditetukan ada kalanya keadaan memaksa dan batas tersebut
terpaksa dilanggar. Dalam kondisi ini orangtua perlu segera memberitahu dan
menjelaskan pada remaja bahwa keadaan tersebut dapat dipahami dan
diterima oleh orangtua namun bukan berarti bahwa batasan yang telah ditentukan
tidak berlaku lagi. Sikap dan komunikasi orangtua semacam ini akan dapat
mengurangi rasa berdosa, penyesalan bahkan rasa sakit hati yang tidak
diperlukan.
e. Menjelaskan Secara Lengkap
Terkadang
seorang anak berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan orangtua dengan
alasan karena ia tidak tahu. Untuk mengatasi hal tersebut maka orangtua sangat
perlu untuk mengupgrade diri sehingga mampu menjelaskan secara lengkap apa yang
boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan, mengapa hal itu boleh/tidak, apa
dampaknya jika dilakukan/tidak dilakukan, dsb. Jangan lah menganggap bahwa anak
selalu mempunyai pertimbangan sematang orangtua (meski harus diakui ada remaja
yang jauh lebih matang cara pandang/pikir dari orangtuanya). Kesalahan yang
seringkali dilakukan orangtua adalah terlalu menganggap anaknya sudah mampu
untuk mempertimbangkan segala sesuatu. Apalagi pada masa remaja, sang anak
cenderung terlihat sangat mandiri. Banyak orangtua yang lupa bahwa anak remajanya
masih membutuhkan penjelasan dan bimbingan dari orangtua, meski mereka terlihat
enggan untuk mengakuinya. Dalam hal ini, justru orangtua lah yang
seharusnya segera sadar dan mempertimbangkan bahwa anaknya masih belum tahu dan
sesegera mungkin mengajarkan hal-hal tersebut kepada remaja tersebut. Bukankah
orangtua yang seharusnya lebih memahami anak-anaknya secara rinci.
f. Berlatih
Orangtua
hendaknya mengarahkan anak untuk mengembangkan pola-pola kebiasaan yang
baik. Kebiasaan-kebiasaan baik tersebut harus sudah dilatih terus-menerus sejak
usia dini, misalnya anak dibiasakan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan,
mematuhi jadwal belajar dan bermain, tidur dan bangun pagi secara teratur,
dsb. Hal ini perlu, sebab setiap kebiasaan dan pola perilaku yang
terbentuk pada masa kanak-kanak akan banyak mempengaruhi kebiasaannya kelak
ketika dia dewasa.
g. Hukuman
Hukuman
yang mendidik adalah hukuman yang menyadarkan pihak yang bersalah dalam hal ini
remaja, bahwa hal yang baru saja terjadi hendaknya tidak diulangi karena hal
tersebut tidak disetujui orang tua. Hukuman haruslah dipandang sebagai bentuk
pertanggungjawaban atas perbuatan yang melanggar batasan-batasan yang
ditetapkan. Hukuman tidak harus selalu menyakitkan, dan jangan dijadikan
sebagai luapan kemarahan atau penyakuran emosi dari si penghukum (orangtua).
Jika harus memberikan hukuman, hukumlah anak sesuai dengan tingkat pemahaman
anak tentang hukuman tersebut. Hukuman yang terlalu berat akan mengakibatkan
anak mendendam, dan bila ia tidak dapat membalaskan dendamnya akan terjadi
pengalihan dalam bentuk kekerasan terhadap orang lain (tawuran) dan vandalism
(mis. Coret-coret, merusak properti orang lain). Penting diperhatikan dalam
pemberian hukuman adalah penjelasan mengapa anak terpaksa dihukum, hukuman
harus dilakukan segera setelah perilaku terjadi, dan jangan melakukan hukuman
fisik, seperti memukul atau menampar,dsb, terhadap anak-anak.
h. Komunikasi
Dalam
kenyataan sehari-hari, banyak masalah yang berhubungan dengan disiplin
sebenarnya dapat diselesaikan dengan menggunakan komunikasi timbal balik yang
efektif antara anak dan orangtua. Dalam hal ini cara-cara
berkomunikasi akan memegang peranan penting dalam pembentukan disiplin.
Komunikasi dalam bentuk sindiran, hinaan, merendahkan harga diri orang lain
hendaknya digunakan seminimal mungkin, bahkan harus dihindari sama sekali. Anak
dan remaja sangatlah peka terhadap hal ini, dan dapat sakit hati karenannya.
Jika cara-cara tersebut yang digunakan untuk mendisiplinkan anak, cara-cara
demikian akan cenderung ditiru dalam hubungan interpersonal dengan orang-orang
lain yang akibatnya dapat merugikan diri sang anak maupun orang lain.
Daftar Pustaka:
Zainun Mutadin, SPsi. MSi.
Jakarta, 29 Juli 2002
Jakarta, 29 Juli 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar