BERKARAKTERLAH!
@D04-Rizky
Oleh : Rizky Aditya Pradana
Saya adalah orang yang paling
malas berpakaian formal termasuk seragam. Kebiasaan itupun terbawa sampai saya
berkuliah mungkin sampai saya tua nanti. Saat saya menulis artikel ini di
perpustakaan kampus, saya pun menggunakan kaos oblong dan sandal jepit yang
sebenarnya di peraturan tidak diperbolehkan ketika memasuki area kampus saya.
Ketika saudara saya mengadakan acara pernikahan pun saya menggunakan kaos
oblong dengan sandal jepit. Dan saya sering sekali di tegur orang sekitar
karena penampilan saya yang terlalu “santai” itu.
Penampilan memang terkadang
menjadi sesuatu yang dipersoalkan dalam pergaulan sosial kita. Mungkin
masyarakat kita suka sekali dengan hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu
substantif. Masyarakat kita sudah dikondisikan untuk percaya bahwa kemeja dan
sepatu adalah perangkat untuk memantaskan diri dalam sebuah acara formal,
mereka pun menganggap kalau dalam acara formal tidak pakai kemeja dan sepatu
adalah pemandangan yang kurang pantas.
Suatu hari seorang Arab kampung
datang kepada Muawiyah ibn Abi Sofyan dengan pakaian yang sangat kumal.
Ternyata karena alasan itu Muawiyah pun tidak memedulikan kehadirannya.
“Ya Amirul Mukminin” kata orang
Arab kampung itu.
“Sungguh, bukanlah pakaian yang
mengajak Anda berbicara tuan! Yang mengajak tuan bicara adalah manusia yang
berada di dalam pakaian ini”
Arab kampung itu kemudian
berbicara panjang lebar tentang berbagai masalah dengan tingkat keilmuan yang
tinggi. Tutur kata dan bahasanya indah. Penjelasannya runtut dan menunjukkan
bahwa ia adalah kaum terpelajar.
Usai berbicara, Arab kampung
itupun keluar dan pergi meninggalkan istana tanpa meminta suatu apapun.
Muawiyah pun berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang yang pada awalnya
sama sekali tak kuhargai, namun pada akhirnya ia begitu mulia di mataku.”
Di lingkungan saya terdapat
banyak orang yang berilmu luas, tetapi penampilannya sederhana. Ketika mengajar
hanya menggunakan baju koko dan sandal jepit, tanpa buku, hanya pulpen yang ia
bawa. Tapi hal itu sama sekali tidak menurunkan derajatnya di depan orang lain
yang mengenalnya. Bahkan orang yang mengenalnya akan merasa sangat kagum pada
perilakunya. Mereka tetap menghargai Beliau karena ilmunya, bukan karena
penampilannya.
Suatu hari seorang wanita yang
mengenakan gaun pudar bersama suaminya yang berpakaian sederhana dan telihat
usang, turun dari kereta api di Boston. Mereka berjalan menuju kantor rektor
Harvard University, mereka hendak bertemu langsung dengan sang rektor. Sesampai
di depan ruang rektor, dengan pakaian yang udik, mereka pun disambut dengan
sinis oleh sekretaris rektor.
“Maaf, bisakah kami bertemu
Pimpinan Harvard?” kata sang pria lembut. “Beliau hari ini sibuk. Tidak bisa
diganggu,” jawab sang sekretaris cepat. “Kalau begitu kami akan menunggu” jawab
sang istri.
Selama empat jam sekretaris itu
mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa pasangan yang berpenampilan udik
tersebut merasa bosan menunggu dan akhirnya mau pergi. Tetapi ternyat tidak.
Mereka dengan sabar menunggu sang rektor melihat kedua tamunya itu, sang
sekretaris justru yang muali hilang kesabaran hingga pada akhirnya ia
memutuskan untuk memberitahukan kepada sang rektor kalai ada tamu udik yang
hendak menemuinya.
“Mungkin jika Anda menemui mereka
selama beberapa menit, mereka akan pergi” bujuk sang sekretaris kepada
rektornya. Sang rektor menemui mereka dengan wajah yang tidak menyenangkan.
Sang wanita langsung mengemukakan
tujuannya menemui sang rektor, “Maaf telah mengganggu kesibukan Tuan. Kami
memiliki seorang anak yang kuliah tahun pertama di Harvard. Dia menyukai
Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun yang lalu dia meninggal karena
kecelakaan. Kami ingin mendirikan monumen untuk mengenangnya di kampus ini.”
Sang rektor terkejut, “Nyonya,
kami tida bisa mendirikan patung untuk setiap orang yang pernah masuk Harvard
dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini akan seperti kuburan.”
“Oh, bukan begitu maksud kami”
sang wanita buru-buru menjelaskan. “Kami tidak hendak mendirikan patung di
sini. Kami hana ingin menyumbangkan sebuah gedung untuk Harvard.”
Sang rektor mentap sekilas pada
baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan lalu berujar, “Gedung? Apakah
Anda tahu berapa biaya sebuah gedung? Kami sudah menginvestasikan lebih dari
7,5 juta dollar untuk mendirikan kampus ini”
Untuk beberapa saat sang wanita
terdiam. Rektor Harvard itu kelihatan merasa senang dan puas karena dia bisa
terbebas dari mereka sekarang. Tapi sejenak, sang wanita menoleh pada suaminya
dan berkata pelan, “Kalau hanya segitu biayanya, kenapa kita tidak bikin
universitas sendiri saja?” suaminya mengangguk. Wajah sang Pemimpin Harvard
tampak kecut.
Sepasang suami istri itu adalah
Mr. dan Mrs. Leland Stanford pemilik Standford University. Universitas tersebut
merupakan salah satu universitas favorit kelas atas di AS saat ini. Universitas
itu melahirkan pendiri Electronic Arts, LinkedIn, Sun Microsystems, Yahoo!,
Cisco System, Google, dan lain-lain.
Pasangan ini sombong tapi
sombongnya memiliki karakter dan dapat dituangkan ke sesuatu yang benar. Mereka
menjadikan kesombongannya alat untuk menjadikan mereka lebih bermanfaat bagi
orang lain dan itulah yang membuat mereka menjadi lebih menarik dibandingkan
dengan yang lainnya.
Janganlah jadikan penampilan luar
itu sebagai satu-satunya fokus sehingga lupa dengan substansinya. Ada yang
terlalu mementingkan penampilan hingga mengabaikan yang lebih pokok.
Filsafah Jawa mengungkapkan, ajining raga saka busana. Falsafah
tersebut mengandung 2 pengertian. Secara terminologi artinya berharganya diri
seseorang, dianggap cukup apabila mengenakan busana atau pakaian yang serba
bagus dan indah. Sedangkan secara ertimologi, berharganya diri seseorang
apabila setiap pikiran dan perilakunya dihiasi dengan budi pekerti luhur. Tetapi
realitas yang ada rasanya pengertian terminologi harus diragukan relevansinya. Banyak
orang yang ternyata perampok, penghianat, koruptor yang justru menggunakan
pakaian yang mewah dengan dasi dan jasnya.
Saya pikir, falsafah tersebut
bukan hanya termaknai hanya untuk pakaian yang melekat di badan kita, namun
lebih dari itu adalah pakaian diri seutuhnya. Bagaimana bersikap dan
berperilaku dengan sesama, bagaimana sopan santun kita kepada orang tua dan
rasa cinta kasih kita kepada yang muda, bagaimana agar kehadiran kita memberi
kemanfaatan dalam kebaikan bagi sekitar dan lain-lainnya.
Pada hakikatnya, kemenarikan seseorang
bukan terdapat pada pakaiannya namun terdapat pada karakter dan kepribadian
orang tersebut. Meskipun orang itu hanya menggunakan sandal jepit ketika acara
penting, tapi jika karakter dan kepribadian orang tersebut terpancar, orang
lain tidak akan peduli dengan apa yang orang tersebut gunakan. Dan satu lagi
yang perlu diingat, perbanyaklah ilmu agar kita tidak sombong dan tidak
memaksakan diri kita untuk menjadi menarik untuk orang lain. Biarlah kemenarikan
itu terpancar dengan sendirinya dari dalam diri kita.
DAFTAR PUSTAKA
Rif’an, Ahmad
Rifa’i. 2012. Man Shabara Zhafira.
Jakarta: Kompas Gramedia.
Referensi Gambar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar