Laman

Selasa, 14 November 2017

JUDULNYA MENARIK GAK?

BERKARAKTERLAH!

@D04-Rizky
Oleh : Rizky Aditya Pradana


Saya adalah orang yang paling malas berpakaian formal termasuk seragam. Kebiasaan itupun terbawa sampai saya berkuliah mungkin sampai saya tua nanti. Saat saya menulis artikel ini di perpustakaan kampus, saya pun menggunakan kaos oblong dan sandal jepit yang sebenarnya di peraturan tidak diperbolehkan ketika memasuki area kampus saya. Ketika saudara saya mengadakan acara pernikahan pun saya menggunakan kaos oblong dengan sandal jepit. Dan saya sering sekali di tegur orang sekitar karena penampilan saya yang terlalu “santai” itu.

Penampilan memang terkadang menjadi sesuatu yang dipersoalkan dalam pergaulan sosial kita. Mungkin masyarakat kita suka sekali dengan hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu substantif. Masyarakat kita sudah dikondisikan untuk percaya bahwa kemeja dan sepatu adalah perangkat untuk memantaskan diri dalam sebuah acara formal, mereka pun menganggap kalau dalam acara formal tidak pakai kemeja dan sepatu adalah pemandangan yang kurang pantas.

Suatu hari seorang Arab kampung datang kepada Muawiyah ibn Abi Sofyan dengan pakaian yang sangat kumal. Ternyata karena alasan itu Muawiyah pun tidak memedulikan kehadirannya.

“Ya Amirul Mukminin” kata orang Arab kampung itu.

“Sungguh, bukanlah pakaian yang mengajak Anda berbicara tuan! Yang mengajak tuan bicara adalah manusia yang berada di dalam pakaian ini”

Arab kampung itu kemudian berbicara panjang lebar tentang berbagai masalah dengan tingkat keilmuan yang tinggi. Tutur kata dan bahasanya indah. Penjelasannya runtut dan menunjukkan bahwa ia adalah kaum terpelajar.

Usai berbicara, Arab kampung itupun keluar dan pergi meninggalkan istana tanpa meminta suatu apapun. Muawiyah pun berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang yang pada awalnya sama sekali tak kuhargai, namun pada akhirnya ia begitu mulia di mataku.”

Di lingkungan saya terdapat banyak orang yang berilmu luas, tetapi penampilannya sederhana. Ketika mengajar hanya menggunakan baju koko dan sandal jepit, tanpa buku, hanya pulpen yang ia bawa. Tapi hal itu sama sekali tidak menurunkan derajatnya di depan orang lain yang mengenalnya. Bahkan orang yang mengenalnya akan merasa sangat kagum pada perilakunya. Mereka tetap menghargai Beliau karena ilmunya, bukan karena penampilannya.

Suatu hari seorang wanita yang mengenakan gaun pudar bersama suaminya yang berpakaian sederhana dan telihat usang, turun dari kereta api di Boston. Mereka berjalan menuju kantor rektor Harvard University, mereka hendak bertemu langsung dengan sang rektor. Sesampai di depan ruang rektor, dengan pakaian yang udik, mereka pun disambut dengan sinis oleh sekretaris rektor.

“Maaf, bisakah kami bertemu Pimpinan Harvard?” kata sang pria lembut. “Beliau hari ini sibuk. Tidak bisa diganggu,” jawab sang sekretaris cepat. “Kalau begitu kami akan menunggu” jawab sang istri.

Selama empat jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa pasangan yang berpenampilan udik tersebut merasa bosan menunggu dan akhirnya mau pergi. Tetapi ternyat tidak. Mereka dengan sabar menunggu sang rektor melihat kedua tamunya itu, sang sekretaris justru yang muali hilang kesabaran hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk memberitahukan kepada sang rektor kalai ada tamu udik yang hendak menemuinya.

“Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi” bujuk sang sekretaris kepada rektornya. Sang rektor menemui mereka dengan wajah yang tidak menyenangkan.
Sang wanita langsung mengemukakan tujuannya menemui sang rektor, “Maaf telah mengganggu kesibukan Tuan. Kami memiliki seorang anak yang kuliah tahun pertama di Harvard. Dia menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun yang lalu dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan monumen untuk mengenangnya di kampus ini.”

Sang rektor terkejut, “Nyonya, kami tida bisa mendirikan patung untuk setiap orang yang pernah masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini akan seperti kuburan.”
“Oh, bukan begitu maksud kami” sang wanita buru-buru menjelaskan. “Kami tidak hendak mendirikan patung di sini. Kami hana ingin menyumbangkan sebuah gedung untuk Harvard.”
Sang rektor mentap sekilas pada baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan lalu berujar, “Gedung? Apakah Anda tahu berapa biaya sebuah gedung? Kami sudah menginvestasikan lebih dari 7,5 juta dollar untuk mendirikan kampus ini”

Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Rektor Harvard itu kelihatan merasa senang dan puas karena dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Tapi sejenak, sang wanita menoleh pada suaminya dan berkata pelan, “Kalau hanya segitu biayanya, kenapa kita tidak bikin universitas sendiri saja?” suaminya mengangguk. Wajah sang Pemimpin Harvard tampak kecut.

Sepasang suami istri itu adalah Mr. dan Mrs. Leland Stanford pemilik Standford University. Universitas tersebut merupakan salah satu universitas favorit kelas atas di AS saat ini. Universitas itu melahirkan pendiri Electronic Arts, LinkedIn, Sun Microsystems, Yahoo!, Cisco System, Google, dan lain-lain.

Pasangan ini sombong tapi sombongnya memiliki karakter dan dapat dituangkan ke sesuatu yang benar. Mereka menjadikan kesombongannya alat untuk menjadikan mereka lebih bermanfaat bagi orang lain dan itulah yang membuat mereka menjadi lebih menarik dibandingkan dengan yang lainnya.

Janganlah jadikan penampilan luar itu sebagai satu-satunya fokus sehingga lupa dengan substansinya. Ada yang terlalu mementingkan penampilan hingga mengabaikan yang lebih pokok.

Filsafah Jawa mengungkapkan, ajining raga saka busana. Falsafah tersebut mengandung 2 pengertian. Secara terminologi artinya berharganya diri seseorang, dianggap cukup apabila mengenakan busana atau pakaian yang serba bagus dan indah. Sedangkan secara ertimologi, berharganya diri seseorang apabila setiap pikiran dan perilakunya dihiasi dengan budi pekerti luhur. Tetapi realitas yang ada rasanya pengertian terminologi harus diragukan relevansinya. Banyak orang yang ternyata perampok, penghianat, koruptor yang justru menggunakan pakaian yang mewah dengan dasi dan jasnya.

Saya pikir, falsafah tersebut bukan hanya termaknai hanya untuk pakaian yang melekat di badan kita, namun lebih dari itu adalah pakaian diri seutuhnya. Bagaimana bersikap dan berperilaku dengan sesama, bagaimana sopan santun kita kepada orang tua dan rasa cinta kasih kita kepada yang muda, bagaimana agar kehadiran kita memberi kemanfaatan dalam kebaikan bagi sekitar dan lain-lainnya.

Pada hakikatnya, kemenarikan seseorang bukan terdapat pada pakaiannya namun terdapat pada karakter dan kepribadian orang tersebut. Meskipun orang itu hanya menggunakan sandal jepit ketika acara penting, tapi jika karakter dan kepribadian orang tersebut terpancar, orang lain tidak akan peduli dengan apa yang orang tersebut gunakan. Dan satu lagi yang perlu diingat, perbanyaklah ilmu agar kita tidak sombong dan tidak memaksakan diri kita untuk menjadi menarik untuk orang lain. Biarlah kemenarikan itu terpancar dengan sendirinya dari dalam diri kita.

DAFTAR PUSTAKA
Rif’an, Ahmad Rifa’i. 2012. Man Shabara Zhafira. Jakarta: Kompas Gramedia.

Referensi Gambar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar