Laman

Sabtu, 07 Desember 2024

Analisis Undang-undang Pemberantasan Korupsi di Indonesia : Studi Kasus Terbaru

   Analisis Undang-Undang Pemberantasan Korupsi di Indonesia : Studi Kasus Terbaru


Oleh : Ayu Aeni (M16) 

ABSTRAK 

Korupsi terus menjadi tantangan besar bagi Indonesia, khususnya dalam sektor infrastruktur. Meskipun berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan, seperti penerapan Undang-Undang Dasar 1945 dan regulasi terkait pemberantasan korupsi, korupsi dalam proyek-proyek infrastruktur tetap marak. Salah satu contoh kasus yang sedang diselidiki adalah korupsi dalam pembangunan Tol Jakarta-Cikampek II (Tol MBZ) pada 2016-2017. Modus yang digunakan mencakup pengurangan spesifikasi proyek dan pengaturan pemenang tender, yang melibatkan beberapa pejabat dan pihak terkait. Penanganan kasus ini menunjukkan bahwa meskipun lembaga seperti KPK sudah berupaya, masih ada kelemahan dalam sistem hukum dan pengawasan. Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah,menyatakan bahwa buruknya tata kelola, dari perencanaan hingga pengawasan, menjadi penyebab utama maraknya kasus korupsi di sektor infrastruktur. Revisi terhadap regulasi dan peningkatan integritas sumber daya manusia di kalangan aparat penegak hukum serta masyarakat diperlukan untuk mengurangi korupsi secara signifikan. Pemberantasan korupsi harus melibatkan pendekatan holistik yang mencakup peran aktif lembaga hukum, masyarakat, dan sektor swasta, guna menciptakan sistem yang lebih transparan dan akuntabel.

KATA KUNCI : Korupsi, Pemberantasann Korupsi, Proyek Infrastruktur, Komisi Pemberantasan Korupsi, Integritas, Pengawasan, Penegakan hukum.


PENDAHULUAN


      Korupsi terus menjadi masalah yang menghambat kemajuan Indonesia, disebabkan oleh oknum pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi atau kelompok. Meskipun pemerintah Indonesia telah berupaya memberantas korupsi, salah satunya dengan mengimplementasikan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia, upaya tersebut masih dirasa belum efektif. Oleh karena itu, dibutuhkan analisis hukum yang mendalam untuk mengevaluasi bagaimana pengaturan hukum dalam UUD dapat mempengaruhi penanganan kasus korupsi dan apakah regulasi yang ada perlu direvisi atau disempurnakan.

       UUD 1945 sendiri menegaskan bahwa tugas negara adalah menjaga moralitas, keadilan sosial bagi seluruh rakyat, dan supremasi hukum, yang tercermin dalam berbagai pasal seperti Pasal 2 tentang Kedaulatan Rakyat, Pasal 28A tentang Keadilan Sosial, serta Pasal 28D tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu, Indonesia juga memiliki berbagai undang-undang terkait pemberantasan korupsi, seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mengubah UU tersebut, serta Peraturan Pemerintah Nomor 9  tahun 1975 tentang Tata Cara Penyidikan Tindak Pidana.

    Korupsi, jika dilihat dari perspektif yang lebih luas maupun sempit, merupakan perilaku manusia yang sudah ada sejak zaman dahulu, yakni sejak manusia pertama kali hidup bermasyarakat, di mana tindakan tersebut merugikan pihak lain. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia memiliki potensi untuk berbuat baik maupun buruk. 

      Lalu, muncul pertanyaan: Apakah korupsi dapat diberantas? Setidaknya, korupsi bisa dikurangi dengan membangun sistem hukum yang kuat, aparat yang bersih, serta budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan. Penegak hukum harus terdiri dari individu yang berintegritas, memiliki rasa malu, dan dalam konteks agama, memiliki iman yang kuat. Salah satu contoh penegakan hukum yang menginspirasi adalah hakim Artijo Alkostar, yang dikenal dengan integritasnya yang tinggi dan ketegasannya dalam menghukum para koruptor. Upaya Artijo Alkostar dalam pemberantasan korupsi mendapat banyak apresiasi, khususnya dari mereka yang terlibat dalam gerakan anti korupsi.


PERMASALAHAN


     Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia, permasalahan utama yang dihadapi adalah masih maraknya praktik korupsi di berbagai sektor, meskipun sudah ada lembaga khusus seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu faktor yang memperburuk situasi ini adalah penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum dan pejabat negara, yang sering kali terlibat dalam korupsi atau malah melindungi pelaku korupsi.

 

      Selain itu, revisi terhadap Undang-Undang KPK pada tahun 2019 yang membatasi kewenangan lembaga ini, seperti pembatasan hak penyadapan dan pengawasan terhadap pejabat tinggi negara, telah memperlemah upaya pemberantasan korupsi. Hal ini membuat KPK semakin sulit dalam mengusut tuntas kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat tinggi, yang pada gilirannya mengurangi rasa percaya publik terhadap kemampuan lembaga ini.

     

     Disisi lain, Korupsi yang terjadi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, terutama pada proyek proyek infrastruktur, terus menjadi masalah utama yang menggerogoti keuangan negara. Ketidaktransparanan dalam proses pengadaan dan lemahnya pengawasan sering kali membuka celah bagi praktik korupsi sehingga menimbulkan kerugian negara yang tidak sedikit. Selain faktor kelemahan dalam institusi hukum, politik juga memiliki peran besar dalam menghambat pemberantasan korupsi.


PEMBAHASAN 


     Banyak pejabat yang terlibat dalam kasus korupsi mendapatkan perlindungan politik dari partai politik atau kolega mereka, yang membuat proses hukum tidak berjalan efektif. Bahkan, meskipun ada mekanisme whistleblower, partisipasi masyarakat dalam mengawasi dan melaporkan kasus-kasus korupsi masih tergolong rendah, yang memperburuk kondisi ini. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi di Indonesia menghadapi tantangan besar, baik dari sisi kelembagaan, politik, maupun masyarakat, yang harus segera ditangani agar upaya pemberantasan korupsi dapat berjalan dengan lebih efektif dan efisien.

      Selain itu, permasalahan lain yang tidak kalah penting adalah lambatnya proses penyelidikan dan penuntutan kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara. Seringkali, kasus-kasus besar terhambat oleh berbagai kendala, baik itu kekurangan bukti yang kuat, intervensi politik, maupun adanya ketidakjelasan dalam penerapan hukum.

 Proses yang berlarut-larut ini menimbulkan kesan bahwa korupsi di kalangan elit politik dan birokrasi tidak akan pernah mendapat hukuman yang setimpal, sehingga menurunkan rasa keadilan masyarakat.

  Korupsi yang bersifat sistemik di tingkat pemerintahan daerah juga menjadi tantangan besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam banyak kasus, pejabat daerah yang terlibat dalam praktik korupsi seringkali berkolaborasi dengan pengusaha atau pihak lain yang memiliki kepentingan politik, menciptakan jaringan yang sulit dijangkau oleh penegak hukum. Praktik ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga masyarakat yang seharusnya memperoleh manfaat dari dana publik yang digunakan untuk pembangunan daerah. 

      Selain itu, adanya ketidakjelasan dalam implementasi kebijakan antikorupsi di tingkat daerah juga menghambat terwujudnya sistem pengawasan yang efektif. Meskipun terdapat berbagai upaya untuk meningkatkan transparansi, seperti penerapan e-budgeting dan e-procurement, implementasi kebijakan ini sering kali terhambat oleh kurangnya pemahaman aparat daerah serta minimnya dukungan dari berbagai pihak. Banyak pejabat yang masih enggan untuk terbuka dalam pengelolaan anggaran dan pengadaan barang/jasa, sehingga peluang untuk melakukan korupsi semakin besar.

       Pada sisi lain, meskipun masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam mengawasi dan melaporkan dugaan korupsi, partisipasi masyarakat dalam hal ini masih sangat terbatas. Ketakutan akan dampak negatif bagi diri mereka, seperti intimidasi atau ancaman, membuat banyak orang enggan melibatkan diri dalam pengawasan. Oleh karena itu, selain penguatan lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK, diperlukan pula upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya peran mereka dalam pemberantasan korupsi serta menciptakan sistem perlindungan bagi mereka yang berani melapor. 
      
      Dengan berbagai tantangan tersebut, pemberantasan korupsi di Indonesia memerlukan pendekatan yang lebih holistik dan terintegrasi, yang tidak hanya mengandalkan lembaga penegak hukum tetapi juga melibatkan peran aktif dari masyarakat, sektor swasta, serta politisi untuk menciptakan sistem yang lebih transparan, akuntabel, dan bebas dari korupsi.
      
      Kasus korupsi kembali terungkap dalam proyek infrastruktur, kali ini dalam pembangunan Tol Jakarta-Cikampek (Japek) II atau Tol MBZ pada 2016-2017 yang sedang diselidiki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Kuntadi, menyebutkan bahwa modus korupsi yang terjadi melibatkan pengurangan spesifikasi atau volume proyek serta pengaturan pemenang tender.
      
      Tiga tersangka terlibat dalam tindakan ini, yakni Djoko Dwijono (DD), yang menjabat sebagai Direktur Utama PT Jasamarga Jalan Layang Cikampek (JCC) periode 2016-2020; YM, Ketua Panitia Lelang Proyek JCC; dan TBS, tenaga ahli jembatan dari PT LAPI Ganeshatama Consulting. Kasubdit TPPU Direktorat Penyidikan Jampidsus, Haryoko Ari Prabowo, menjelaskan bahwa korupsi tersebut terjadi melalui pengurangan spesifikasi proyek, termasuk perubahan desain jalan layang yang semula menggunakan rangka beton menjadi rangka baja.

       Namun, Haryoko enggan mengungkapkan siapa di antara tersangka yang melakukan perubahan tersebut. Kejagung masih bekerja sama dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung kerugian negara akibat kasus ini.

      Kasus korupsi di proyek infrastruktur bukanlah yang pertama kali terjadi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa kasus korupsi terkait Pengadaan Barang/Jasa (PBJ), terutama untuk pembangunan infrastruktur, masih tinggi setiap tahunnya. Pada 2022, dari 579 kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum, 250 di antaranya terkait dengan PBJ, dan lebih dari 50 persen kasus tersebut berhubungan dengan infrastruktur, termasuk jalan dan jembatan. ICW menyatakan bahwa angka korupsi di sektor infrastruktur kemungkinan lebih tinggi di lapangan dibandingkan dengan jumlah kasus yang berhasil diungkap.
 
      Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menilai maraknya kasus korupsi di proyek infrastruktur disebabkan oleh buruknya tata kelola, mulai dari perencanaan hingga pengawasan. Menurutnya, Kementerian PUPR dan pemenang tender seharusnya menerapkan prinsip good corporate governance, namun hal ini lemah dan banyak terjadi pelanggaran integritas.

      Trubus menyebut pelanggaran integritas ini sebagai masalah klasik yang sering terjadi, dengan akar masalah terletak pada sumber daya manusia (SDM), bukan sistem. Ia juga menambahkan bahwa tenggat waktu pengerjaan, terutama untuk Proyek Strategis Nasional (PSN), yang sering dipercepat, turut memperburuk pengawasan.

KESIMPULAN DAN SARAN 

     1) KESIMPULAN 

Pemberantasan korupsi di Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang kompleks, seperti penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum, keterbatasan kewenangan lembaga seperti KPK, korupsi dalam proyek pengadaan barang/jasa, serta perlindungan politik terhadap pelaku korupsi. Selain itu, rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan adanya hambatan dalam proses hukum membuat pemberantasan korupsi berjalan lambat. Meskipun telah ada berbagai upaya untuk menangani masalah ini, baik dari segi kebijakan maupun lembaga antikorupsi, tantangan-tantangan ini masih memperlambat proses pemberantasan korupsi secara menyeluruh. 

    2) SARAN
Untuk mempercepat pemberantasan korupsi di Indonesia, beberapa langkah perlu diambil. Pertama, perlu dilakukan penguatan kelembagaan KPK dengan memberikan kewenangan yang lebih luas, serta memastikan independensinya agar dapat bekerja secara efektif. Kedua, transparansi dalam proses pengadaan barang dan jasa harus lebih ditingkatkan dengan melibatkan teknologi informasi yang lebih canggih dan memadai, serta memastikan adanya pengawasan yang ketat. Ketiga, perlu adanya reformasi di tingkat politik, termasuk perlindungan hukum bagi saksi dan whistleblower agar masyarakat lebih berani melaporkan kasus korupsi. Terakhir, partisipasi masyarakat harus lebih didorong dengan membangun kesadaran publik tentang pentingnya pengawasan terhadap pemerintah dan penegak hukum, serta memberikan perlindungan bagi mereka yang berani melapor. Semua pihak, baik pemerintah, lembaga penegak hukum, sektor swasta, dan masyarakat, harus bersinergi untuk menciptakan sistem yang lebih transparan, akuntabel, dan bebas dari korupsi.

 DAFTAR PUSTAKA

Nadeak, Feby. (2023, November 23). Menilik Celah Korupsi Proyek Infrastruktur Berkaca pada Kasus Tol MBZ. Cnnindonesia. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20231123061531-92-1027788/menilik-celah-korupsi-proyek-infrastruktur-berkaca-pada-kasus-tol-mbz/amp


Pusat Edukasi Anti Korupsi. (2022, Mei 10). Kenali Dasar Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. ACLC KPK. https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220510-kenali-dasar-hukum-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi-di-indonesia#error=login_required&state=d61d71d8-a621-4077-863b-78975c1dea34


Manokwari. (2022, November 8). Tindak Pidana Korupsi : Pengertian dan Unsur-unsurnya. DJPB Kemenkeu. https://djpb.kemenkeu.go.id/kppn/manokwari/id/data-publikasi/berita-terbaru/3026-tindak-pidana-korupsi-pengertian-dan-unsur-unsurnya.html


 


 


         

 



 

 



 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar