Laman

Kamis, 09 November 2023

Membangun Pendidikan Anti Korupsi di Sekolah-sekolah Pedalaman: Tantangan dan Strategi Implementasi

 

Pendidikan antikorupsi mulai dirintis implementasinya di sekolah pada tahun 2010 pada masa penerapan Standar Isi 2006 (selanjutnya di sini diberi istilah masa penerapan Kurikulum 2006). Hal ini diperkuat dengan Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012, yang menugaskan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai penanggung jawab untuk melakukan aksi berupa pengajaran antikorupsi sebagai sisipan dalam kurikulum karakter bangsa pada pendidikan dasar dan menengah, dengan sasaran berupa pengintegrasian nilai-nilai antikorupsi dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah (Sekretariat Negara, 2011), karena nilai-nilai antikorupsi belum terakomodasi secara eksplisit dalam Kurikulum 2006 (Departemen Pendidikan Nasional, 2006).

Korupsi sering kali berawal dari kebiasaan yang tidak disadari, misalnya penerimaan hadiah oleh pejabat penyelenggara Negara atau pegawai negeri sipil dalam suatu acara pribadi atau pemberian suatu fasilitas tertentu yang tidak wajar dari rekanan. Hal semacam ini semakin lama akan menjadi kebiasaan, cepat atau lambat akan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pejabat yang bersangkutan. Mengajarkan pendidikan antikorupsi di sekolah dasar pada dasarnya mengajarkan pendidikan karakter kepada siswa, seperti sifat sederhana, kejujuran, kesopanan, integritas, kerjasama, berkata dan berbuat benar, berani menegur jika orang lain melakukan kesalahan dan sebagainya. Untuk mengajarkan semua itu, diperlukan kurikulum yang tepat agar sikap antikorupsi siswa benar-benar menjadi kebiasaan. Sekolah sebagai tempat pembelajaran memberikan takaran yang pas tentang kebutuhan siswanya, sehingga kurikulum antikorupsi yang dibuat selaras dengan kurikulum pendidikan nasional.

Konsep membelajarkan antikorupsi Cara membelajarakan pendidikan antikorupsi dapat dilakukan pada semua mata pelajaran. Seperti cara mengajarkan pelajaran yang lainnya, guru harus menyusun rencana pembelajaran yang jelas karena guru menjadi kunci utama dalam mengajarkan antikorupsi. Guru yang berkuasa berarti guru yang dapat mengonsep dan praktik pembelajaran sesuai dengan silabusnya (Jha, 2011). Setiap pertemuan dengan siswa, rencana pembelajaran tersebut memiliki ciri khas yang berbeda. Sehingga, siswa tidak akan cepat bosan dengan berbagai hal baru yang disampaikan oleh guru.Dalam setiap rencana pembelajaran guru harus menentukan: materi pelajaran, tujuan pembelajaran, model pembelajaran, metode, alat dan bahan, dan penilaian. Guru yang memiliki kemampuan dan potensi untuk mencapai tujuan sekolah dan pendidikan disebut guru yang berkuasa (Jha, 2011). Semua komponen tersebut disusun secara rinci dalam setiap kegiatanya, baik yang dilakukan guru ataupun siswa. Tanpa mengurangi fokus materi pembelajaran, dalam mengajarkan antikorupsi guru sangat dianjurkan untuk memberikan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari yang termasuk perbuatan korupsi.

Membangun pendidikan antikorupsi di sekolah pendalaman dapat menghadapi beberapa tantangan khusus:

1. Keterbatasan Akses Pendidikan:

   - Daerah pendalaman seringkali mengalami keterbatasan akses terhadap fasilitas pendidikan, yang dapat menghambat implementasi program antikorupsi yang membutuhkan infrastruktur tertentu.

2. Kurangnya Sumber Daya Manusia Terlatih:

   - Keberhasilan pendidikan antikorupsi bergantung pada ketersediaan guru dan staf sekolah yang terlatih. Di daerah pendalaman, kurangnya sumber daya manusia terlatih bisa menjadi hambatan.

3. Kesenjangan Teknologi:

   - Terbatasnya akses atau kesenjangan teknologi di daerah pendalaman bisa menyulitkan penggunaan metode pembelajaran modern yang mendukung pendidikan antikorupsi.

4. Kurangnya Kesadaran akan Korupsi:

   - Tingkat kesadaran masyarakat terhadap korupsi mungkin rendah, sehingga pendidikan antikorupsi dihadapkan pada tugas untuk meningkatkan pemahaman dan urgensi penanganan korupsi.

5. Tantangan Budaya dan Lokal:

   - Budaya dan nilai-nilai lokal dapat menjadi tantangan, karena pendekatan yang diambil haruslah sesuai dengan konteks dan dapat diterima oleh masyarakat setempat.

Membangun pendidikan antikorupsi di sekolah pendalaman dengan melakukan Strategi Implementasi;

1. Pendekatan Kolaboratif:

   - Membangun kemitraan dengan pihak-pihak terkait seperti komunitas lokal, pemerintah daerah, dan organisasi non-pemerintah untuk mendukung pendidikan antikorupsi.

2. Pengembangan Materi yang Kontekstual:

   - Mengembangkan materi yang sesuai dengan realitas dan kebutuhan masyarakat pendalaman untuk meningkatkan daya terima dan relevansi.

3. Pelatihan dan Pendampingan:

   - Menyediakan pelatihan dan pendampingan intensif kepada tenaga pendidik agar dapat mengatasi keterbatasan sumber daya dan infrastruktur.

4. Pemanfaatan Sumber Daya Lokal:

   - Menggunakan sumber daya lokal, seperti tokoh masyarakat atau tradisi lokal, dalam pendidikan antikorupsi untuk membangun keterhubungan dengan komunitas.

5. Penggunaan Metode Pembelajaran Alternatif:

   - Menggunakan metode pembelajaran yang tidak tergantung pada teknologi tinggi, seperti permainan peran, diskusi kelompok, atau kegiatan praktis.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=1456908&val=17695&title=STRATEGI%20IMPLEMENTASI%20PENDIDIKAN%20ANTI%20KORUPSI%20DI%20SEKOLAH

https://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jpd/article/download/11142/7081/

https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/asanka/article/download/2990/1856

http://repository.iainbengkulu.ac.id/9815/1/229. DEVI MARTINA LOVA.pdf

https://pekalongankota.go.id/berita/perlunya-implementasi-pendidikan-anti-korupsi-di-satuan-pendidikan.html - :~:text=Pendidikan%20budaya%20antikorupsi%20ini%20bisa,menguatkan%20budaya%20integritas%2C%E2%80%9D%20tegasnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar