Dalam hidup ini, manusia
selalu mencari dan mendambakan sesuatu yang berarti dalam hidupnya. Memiliki
sesuatu yang berarti, untuk membuat hidupnya terpandang dan terhormat, bangga
dan menaikan gengsinya sebagai makhluk sosial, sehingga memuaskan hasratnya
untuk merasakan bahagia.
Namun sayang sekali, kita sebagai manusia ternyata selalu ingin
menjadikan hidupnya berarti dengan berusaha untuk mencari hal-hal yang bukan
inti. Ada banyak diantara kita misalnya, yang sibuk mencari uang hingga
menelantarkan keluarga. Atau sibuk mengumpulkan kekayaan dan merumitkan tetek
bengek kehidupan, tanpa bisa menikmati bahwa kebahagiaan itu sebenarnya telah
ada dan berasal dari hal-hal sederhana.
Kita cenderung fokus
kepada materi dan hal-hal yang bersifat fana, sehingga melupakan untuk mencari
sesuatu yang paling berarti yang sejati dalam hidupnya. Ada yang demi
mendapatkan materi, kekayaan, dan jabatan yang sifatnya fana itu, ia rela untuk
melakukan segala cara. Bahkan dengan mengorbankan dan pengorbanan nyawa.
Demi memperoleh hal itu, ia bahkan rela menggadaikan nuraninya.
Memang materi dan
hal-hal yang sifatnya fana sering kali berarti bagi hidup manusia. Tetapi semua
itu hanya benar menurut ukuran duniawi, sebagai sesuatu yang berarti dalam
kepalsuan – bukan yang sejati.
Dari dahulu kala,
manusia yang bijaksana telah berusaha dan membuka jalan untuk menemukan sesuatu
yang paling berarti dalam hidupnya. Melalui berbagai cara, dari yang biasa dan
ekstrim. Untuk itu semua, mereka rela untuk mengorbankan waktu dan materi. Karena
materi bukanlah yang sejati dan berarti bagi mereka yang telah mengerti.
Lebih dari itu
sesungguhnya yang paling berarti dalam hidup manusia adalah bisa mengenal diri
yang sesungguhnya, menemukan HATI NURANI-nya dan kemudian mencapai KESADARAN.
Kesadaran untuk terlepas dari kemelekatan. Kesadaran untuk melampaui kebaikan
dan kesalahan. Ketika mencapai kesadaran itulah dikatakan manusia telah bisa
melampaui kelahiran dan kematiannya.
Agama Islam adalah
sebagai jalan dan sarana bagi manusia untuk mengenal dirinya sebagai penuntun
untuk mencapai kesadaran menuju kepada pencapaian tertinggi dalam hidup
manusia. Sesuatu yang paling berarti karena sejati dan abadi.
Zaman ini kita telah
dikejutkan dengan nanotechnology. Kita telah memasuki era dimana kebutuhan
semakin berorientasi kepada yang kecil-kecil. Mulai dari telepon, komputer,
sampai peralatan rumah tangga. Semakin dibuat kecil, ramping dan efisien. Di
era ini kita diajak untuk mengulik sampai ke inti terkecil dari sesuatu yang
besar. Bahwa 1 nanometer adalah 1/1,000,000,000 meter. Suatu dimensi yang
bahkan lebih kecil dari sehelai rambut kita dibelah tujuh. Dan sesuatu yang
kecil itu adalah inti dari sesuatu yang besar. Bahwa Segala yang besar dibangun
dari partikel dan komponen-komponen kecil. Dengan mengubah dan mengendalikan
sesuatu yang inti, yang kecil, partikel yang menyusunnya itu, maka kita bisa
membuat sesuatu yang besar, yang luar biasa!
Maka ilmuan era ini,
mulai berpikir bagaimana membuat mesin berskala nano tersebut. Karena itulah
jawaban dari kemajuan teknologi kedokteran, dirgantara, energi terbarukan,
teknologi pangan dll. Ya, jawaban dari peradaban masa depan adalah perjalanan
kita ke “dalam” atau ke inti dari semua mahluk hidup, yaitu atom-atom,
sel dan molekul, nukleus!
Di era atau momentum
manusia kini, bukan lagi berbicara tentang cara membuat pesawat berbadan lebar
dengan kapasitas 400 penumpang atau lebih, tapi berangan membuat sebuah mesin
yang dapat ditanamkan di pembuluh darah seseorang untuk membantu mengefektifkan
pengobatan.
“The Art of Building
Small” itulah judul kuliah umum dari professor Faringa di depan civitas
akademika Universitas Groningen sebagai penghargaan kepadanya atas hadiah Nobel
yang baru diterimanya.
Intinya adalah, kita telah masuk ke zaman berpikir nano, yakni
berpikir ke dalam (inward), bukan keluar (outward). Berpikir nano adalah
berpikir yang dikendalikan oleh faktor terdalam dari diri kita yang kemudinya
adalah self
awareness dan conscience.
Kesadaran diri! Itulah yang menggerakkan kita, bukan faktor luar!
Segala yang besar
dibangun dari partikel dan komponen-komponen kecil. Tapi, kadang kita lupa,
kita ingin langsung mendapat hasil langsung besar. Kita bahkan terbiasa
menghargai pencapaian yang terlihat besar tanpa perduli kalau hasil besar
adalah buah dari bibit-bibit kecil.
Kalau kita berenang di
kolam kecil, maka kita merasa besar. Padahal, jika kita berenang di tengah
lautan Pasifik, barulah kita merasakan betapa kita hanyalah buih kecil, sangat
tak berarti. Pun, jika kita hanya berkutat di satu lingkungan, satu organisasi,
satu paham, dan merasa kita sudah berada di puncak dunia, maka hal selanjutnya
yang terjadi adalah tergerusnya kita oleh zaman. Kita tidak akan kemana-mana,
kita akan terborgol dengan ‘kebesaran’ itu sendiri. Itu-itu saja, dan cuma di
situ-situ saja!
Maka, ketika segala
persoalan diselesaikan dengan pendekatan makrosopik dan bukan mikroskopik, kita
akan cenderung melihat hanya yang terlihat besar saja, namun tidak akan dapat
mendeteksi inti permasalahannya. Tak pelak, jika kita menyelesaikan dengan cara
makro, masif, akbar, teriakan, cercaan, hujatan dan bukan dengan pendekatan
nano seperti nilai-nilai, moral, etika, hati nurani, maka sudah dapat kita
tebak seperti apa hasilnya. Kita hanya berhenti pada hal-hal yang sifatnya kasat
mata. Kita lupa, kalau kita tidak akan jadi besar dengan membesarkan ego.
“Dan di dalam diri kamu sendiri, apakah kamu tidak
memperhatikannya?” (QS Adz
Dzaariyaat [51]: 21)
Allah memerintahkan
manusia untuk memperhatikan ke dalam dirinya, karena di dalam diri manusia itu
telah diciptakan sebuah mahligai dan di dalamnya Allah telah menanamkan
rahasia-Nya.
Maka, wajib bagi kita
untuk mengadakan perjalanan ke inti kehidupan untuk mendapat jawaban dari semua
permasalahan. Karena, dari perjalanan kecil, perjalanan mikroskopik, perjalanan
nano itulah kita akan menemukan “penemuan besar” bernama kesucian, kekuatan,
kearifan, rahman, rahim atau nukleus (inti) dari penciptaan kita.
Dalam seni perang Sun
Tzu, jika kita mengenal diri sendiri dan mengenal siapa musuh kita, maka kita
tidak perlu mengkhawatirkan hasil dari ratusan pertempuran. Begitu pula dalam
hidup ini, jika kita tahu siapa diri kita dan mengerti
situasi/lawan/kompetitor, maka kemenangan pasti ada ditangan.
Semua orang sukses pasti
mengerti siapa diri mereka, Bill Gates pernah berkata:
The only thing I understand deeply, because in my teens I was
thinking about it, and every year of my life, is software. So I’ll never be
hands-on on anything except software.
Bill Gates menyadari,
apa yang ada di dalam dirinya adalah kecintaan terhadap software, dan dia
unggul dibidang tersebut. Maka semua yang ia lakukan hanyalah membangun
software terbaik. Inilah yang membuatnya bisa memegang gelar menjadi orang
terkaya di dunia, salah satu diantara filantropis yang senang menyumbangkan
hartanya bagi banyak orang.
Mengenal diri sendiri
adalah permulaan dari semua kemenangan hidup. Mengenal diri sendiri memang
sangat penting, namun terkadang juga sulit dilakukan, dan satu-satunya orang
yang bisa mengenali diri sendiri tentu hanya diri kita sendiri.
Cara terbaik untuk
menemukan jati diri adalah dengan bertanya, bertanya adalah trik yang paling
ampuh karena pertanyaan sebodoh apapun yang ditanyakan, maka otak akan selalu
mencari jawabannya perlahan-lahan, karena itu mengapa kita perlu bertanya
kepada diri sendiri, dan mengenal diri lebih dalam.
Pada suatu malam di
bulan Ramadhan tahun 610 Masehi, yang kelak disebut nabi Muhammad SAW sebagai
malam Lailah al-Qadr (lailatu qadar), Jibril (Ruh Al-Qudus) diutus Allah, Tuhan
Semesta Alam, Rabbul ‘Aalamin, menyampaikan kalimat-Nya kepada Al-amin yang
berada di Gua Hira’.
Muhammad SAW telah
mempersiapkan dirinya selama empat puluh tahun untuk memikul tugas yang maha
berat ini, ia telah menjadi manusia pembelajar secara alamiah sebelum kenabian
dan kerasulan ditetapkan padanya.
Pilihan mengasingkan
diri yang dilakukan oleh Beliau SAW ini merupakan skenario Allah SWT
terhadapnya. Juga agar terputusnya kontak dengan kesibukan-kesibukan duniawi.
Rasulullah saw beribadah di dalam gua Hira’ untuk beberapa malam. Di sana
Rasulullah saw beribadat dengan bermunajat dan berzikir mengikut ajaran Nabi
Ibrahim as. Rasulullah hanya pulang ke rumahnya setelah bekalanya habis.
Bekalan kebiasaan Rasulullah untuk beribadah hanyalah gandum dan air.
Di Gua Hira’ yang gelap
dan sepi, Beliau merenung, berpikir, melakukan evaluasi, serta berdialog dengan
diri sendiri. Hingga kemudian Allah SWT berkenan berbicara kepada-Nya lewat
perantaraan malaikat Jibril ‘alaihissalam.
Begitulah, kemuliaan
bukanlah terjadi begitu saja. Nabi Muhammad SAW dijadikan rasul bukan tanpa
proses terlebih dahulu. Beliau bahkan menjadi seorang pemikir dan mengasingkan
diri di gua Hira’ sebelum wahyu datang kepadanya.
Dari kisah ini dapat
kita simpulkan. Bahwa seorang muslim tidak akan sempurna keislamannya
–betapapun ia memiliki akhlak-akhlak yang mulia dan melaksanakan segala macam
ibadah– sebelum menyempurnakannya dengan waktu-waktu menyendiri untuk
“mengadili diri sendiri” (muhasabatun nafsi). Merasakan pengawasan Allah dan
merenungkan fenomena-fenomena alam semesta yang menjadi bukti keagungan Allah.
Berpikirlah kedalam,
mengenali diri sendiri adalah kunci untuk menjadi berarti. Seperti sebuah quote
terkenal tentang seorang yang ingin mengubah dunia berikut:
“Ketika aku sadari bahwa
aku tidak bisa mengubah negaraku, aku mulai berusaha mengubah kotaku. Ketika
aku semakin tua, aku sadari tidak mudah mengubah kotaku. Maka aku mulai
mengubah keluargaku.
Kini aku semakin renta,
aku pun tak bisa mengubah keluargaku. Ternyata aku sadari bahwa satu-satunya
yang bisa aku ubah adalah diriku sendiri.
Tiba-tiba aku
tersadarkan bahwa bila saja aku bisa mengubah diriku sejak dahulu, aku pasti
bisa mengubah keluargaku dan kotaku. Pada akhirnya aku akan mengubah negaraku
dan aku pun bisa mengubah seluruh dunia ini.”
Wallahu’alam Bishawab.
Daftar Pustaka:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar